Asal-mula “Teori”

[pic: britannica.com]


Wahyu Budi Nugroho
Pernah dituduh sebagai komprador
teori-teori sosial-humaniora Eropa

"Sebelum praktik adalah teori, menjadi praktisi tak mungkin tanpa menjadi teoretisi."

Terdapat dua versi sejarah yang saling berhubungan tentang asal-mula kata “teori”. Pertama, teori berasal dari tradisi atau aktivitas ritual pra-Filsafat Yunani Kuno yang disebut bios-Theoretikos. Bios berarti “menengadah”, dan theoretikos berarti “berdoa”. Dengan demikian, bios-Theoretikos berarti “menengadah dan berdoa”. Kedua, teori berasal dari kata Theoros, yakni nama perwakilan polis (negara-kota) Yunani Kuno yang diutus untuk mengamati atau mengawasi berbagai ritual sakral yang dilakukan masyarakat di lingkungan polis. Faktual, sembari mengamati ritual tersebut, lambat-laun Theoros turut larut di dalamnya. Dengan begitu, ia sesungguhnya tak sekadar mengawasi, tetapi juga berpartisipasi di dalamnya.

Lalu, apa hubungannya dengan pengertian teori di era sekarang? Tepatnya, di bangku-bangku akademik atau gedung-gedung perguruan tinggi yang menjulang tinggi? Jika kita menilik sejarah awal munculnya kata teori, maka sesungguhnya antara teori dengan praktik tidaklah terpisahkan; “menengadah dan berdoa”, “mengamati dan berpartisipasi”; menengadah adalah suatu tindakan, berpartisipasi adalah aksi. Itulah mengapa, etimologis teori seringkali digunakan para pemikir kritis untuk mengritik eksistensi teori yang saat ini cenderung terpisah dari dimensi praksis. Teori menurut mereka, haruslah tidak bebas nilai dan sarat memuat agenda emansipatoris (pembebasan).

Lantas, apa pengertian teori saat ini? Kini, teori didefinisikan sebagai serangkaian abstraksi, konsep, dan proposisi untuk menjelaskan atau memprediksi suatu fenomena. Abstraksi adalah kulminasi pemikiran yang bersifat sistematis dan terarah, konsep adalah generalisasi empiris atau “pandangan umum”, sementara proposisi adalah hubungan dua konsep yang saling berkaitan. Namun yang lebih krusial bukanlah serangkaian pengertian itu, melainkan orientasi dari teori saat ini yang sekadar “menjelaskan” dan “memprediksi” suatu fenomena. Kedua istilah itu jelas menghilangkan sama sekali dimensi praksis dari teori, seakan teori tak memiliki kepentingan lain selain menjelaskan dan memprediksi.

Tak pelak, berbagai upaya telah dilakukan para pemikir setelahnya untuk mengembalikan dimensi praksis dalam teori, atau dengan kata lain, mengembalikan pengertian awal dari teori yang tak terpisahkan dari praktik. Karl Marx misalkan, yang membumikan dialektika Hegel dan berkata bahwa para filsuf hanya membuat tafsir yang berbeda-beda tentang dunia, padahal yang terpenting adalah mengubahnya. Selanjutnya, Anthonny Giddens dengan strukturasi-nya, yang meskipun awalnya lebih berorientasi untuk menjembatani kesenjangan antara agen atau aktor dengan struktur, turut mengklaim jika strukturasi mampu menjembatani antara teori dengan praktik. Di samping itu, terdapat pula konsep habitus dari Pierre Bourdieu yang salah satu karakternya adalah structuring structures ‘struktur yang menyetruktur’, pun didaulat bisa mengatasi kesenjangan antara teori dengan praktik.

Namun, berbagai usaha para pemikir di atas akan menjadi sia-sia jika kita menilik penjelasan Yuval Noah Harari mengenai revolusi kognitif (Homo) Sapiens. Revolusi kognitif selalu membuat lompatan jauh ke depan ketimbang evolusi DNA atau evolusi fisik/biologis. Itulah mengapa, Harari menjelaskan “obesitas” yang didera manusia kebanyakan saat ini dikarenakan masih dominannya DNA manusia pemburu-pengumpul pada diri kita, sementara kini kita telah hidup di era masyarakat pasca-Industri yang tak memerlukan terlalu banyak kalori untuk berburu dan mengumpul, melainkan sekadar duduk di hadapan layar komputer. Begitu juga, perselingkuhan yang marak terjadi di kehidupan keluarga modern dikarenakan kita masih membawa gen interseksual sehingga wujud institusi pernikahan monogami cenderung menyalahi perilaku seks natural kita—selalu ingin memiliki banyak pasangan.

Revolusi kognitif juga dituduh membuat Sapiens mampu melampaui “peristiwa”. Ini ditunjukkan oleh dongeng-dongeng atau mitos yang dicetuskan Sapiens, atau yang diistilahkan Harari sebagai “fiksi” atau “realitas-khayal”. Bagi Harari, fiksi merupakan salah satu kunci kesuksesan Sapiens—kita—untuk terus bertahan hingga hari ini. Fiksi, atau kepercayaan terhadap hal-hal yang belum ada atau belum terjadi, tak hanya membuat Sapiens mampu menyatukan kawanannya, tetapi juga berhati-hati dan mengantisipasi berbagai marabahaya yang mungkin saja terjadi di depan. Jika kita menilik penjelasan ini, maka mencipta fiksi, realitas khayal, berfantasi, atau berteori seakan telah menjadi kemampuan alami Sapiens sekaligus kunci suksesnya menjadi spesies yang jauh lebih unggul daripada spesies-spesies lainnya.

Melalui penjelasan di atas, kita boleh curiga bahwa sesungguhnya antara teori dengan praktik memang tak pernah terpisah. Kita selalu berteori untuk menghadapi hari esok atau beberapa menit, jam, berikut beberapa hari ke depan; hanya saja tak menyadarinya. Di sini, kita bisa kembali menilik karakter dependen dan independen dari teori. Dependensi teori adalah penggunaannya terhadap berbagai peristiwa yang telah terjadi—untuk menjelaskan—sedangkan independensi teori adalah posisi teori sebagai landas-dasar perubahan mikrososial maupun makrososial ke depan—melampaui peristiwa. Namun, apakah ketika kita tidak melakukan suatu tindakan apa pun, itu juga bisa dikatakan sedang berteori? Ini mengingat, setiap kata-kata memiliki konsekuensi, begitu pula dengan diam.


*****

0 Comments:

Post a Comment