Dramaturgi Kehidupan Sehari-hari
Bagus Ardiansyah
Pegiat Sanglah Institute
Sekilas tentang Dramaturgi
Pemikiran Goffman, dengan
menggunakan konsep Shakespeare[1] (Salim, 2008:
43), memusatkan perhatiannya pada tindakan audiensi sosial dengan diri sendiri,
maka lahirlah konsep dramaturgi, yakni pandangan perihal kehidupan sosial yang tak
ada bedanya dengan pertunjukan drama yang ditampilkan di atas pentas atau
panggung (Ritzer, 2014: 280). Margaret Poloma mendefinisikan konsep terkait
dengan pendekatan bahasa serta khayalan teater untuk menggambarkan fakta subjektif
dan objektif dari interakasi sosial. Melalui asumsi sederhana, bahwa individu
atau aktor ketika berinteraksi, ingin menunjukkan perasaan diri yang bisa
diterima oleh orang lain, juga dengan mengantisipasi terhadap unsur-unsur yang
mengganggu. Mengikuti analogi teatrikal, bahwa aktor atau individu menggunakan
beragam teknik untuk mempertahankan kesan tertentu atau realitas sosial yang
mereka sponsori dalam menghadapi masalah yang mungkin dihadapi dan metode yang
digunakan untuk mengatasi masalah terkait.
Bisa terlihat secara implisit,
dengan analogi seperti ini, orang, individu atau aktor tidak hanya bereaksi
tetapi juga melakukan aksi (Usman, 2015: 57). Inilah perspektif fundamental
dalam interaksionisme simbolik yang perlu dipahami. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Mead (dalam Usman, 2015: 58), tindakan terkait disebut sebagai role taking[2]. Perlu
dipahami, nyatanya dalam interaksi setiap orang mengadakan sebuah ‘pertunjukan’
terhadap satu sama lain, memanggungkan kesan yang diterima pihak lain. Fenomena
ini tak ubahnya seperti drama sosial (sociodrama)[3] (Abercrombie et al., 2010: 534). Bagi Manning (dalam
Ritzer, 2014: 286), konsep dramaturgi ini sama seperti fakta sosial sendiri;
tesis dua diri, pertunjukkan bertopeng dengan menyembunyikan diri yang sinis
dan manipulatif untuk mengejar tujuan mereka sendiri tanpa menghiraukan
kepentingan oranglain.
Kembali ke dramaturgi, bahwa
konsep dramaturgi secara teoritis mengacu pada panggung drama, sebagaimana pernah
ditulis oleh Plato. Seperti di panggung, suatu drama mempunyai aktor, audiens
atau penonton, dan kisah. Selain itu, jantung panggung terbagi menjadi dua,
yakni panggung depan (fronts stage)
dan panggung belakang (back stage).
Panggung depan merupakan bagian panggung dunia sosial yang berfungsi untuk
‘mengenalkan’ kisah atau memperkenalkan setting
dan muka personal (front personal)
(Arisandi, 2015: 122). Artinya, aktor atau individu, baik di pentas panggung
ataupun dalam kehidupan sehari-hari melakukan tindakan yang menarik perhatian dengan penampilan kostum
serta segala peralatan yang digunakan (Ritzer, 2014: 90).
Selain itu, dalam panggung depan,
seperti dalam penjelasan di atas, ada setting
dan muka personal (front personal). Setting merujuk pada pemandangan fisik
yang biasanya harus ada jika aktor atau individu memainkan perannya atau
tampil, karena tanpa itu ia tidak bisa memainkan perannya (Ritzer, 2014: 281;
Arisandi, 2015: 122). Seorang pemain bulutangkis, misalnya, memerlukan raket
dan keperluan lainnya dalam bermain bulutangkis. Seorang dokter, misal, rutin
sehari-harinya terjadi dalam kantor dengan perlengkapan yang beragam dan
sepatutnya.
Muka personal (front personal) terdiri dari
pernak-pernik perlengkapan ekspresi yang diidentikan audiens dengan aktor dan
diharapkan dibawa serta dalam setting
terkait. Dosen misalnya, diharapkan mempunyai laptop, buku, dan sejenisnya.
Muka personal ini dibagi dalam dua bagian oleh Goffman, yakni penampilan (appearence)
dan gaya (manner). Pertama, penampilan merupakan beragam jenis barang
yang mengenalkan pada audiens status sosial aktor. Pembatasnya adalah sebagai
stimuli yang berfungsi menginformasikan pada kita status sosial para si pelaku
(Goffman, dalam Poloma, 1999: 233).
Kedua, gaya mengenalkan pada
penonton, peran seperti apa yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi
tertentu[4]. Dengan kata
lain, menunjuk pada stimuli yang berfungsi mengingatkan akan peranan interaksi
yang diharapkan si pelaku harus dimainkan pada situasi mendatang (harapan dari
peran (rutin) yang dimainkan). Lazimnya, para audiens atau masyarakat
mengharapkan bahkan menginginkan penampilan dan gaya saling selaras.
Berbeda dengan panggung depan yang
dipenuhi oleh kepalsuan, ikatan fakta sosial, nilai, dan norma yang berlaku,
atau sederhananya sesuatu yang diharapkan terjadi dan dilakukan oleh aktor atau
individu, tidak demikian halnya dalam panggung belakang. Di dalam panggung
belakang, interaksi ditandai dengan jarak sosial yang sangat rendah, karena
mereka tampil dengan apa adanya tanpa adanya kepalsuan (Salim, 2008: 44), atau
disebut dengan ‘kebebasan’. Oleh karena, di panggung belakang aktor atau
individu tampil apa adanya bukan ada apanya, tidak peduli dengan ekspektasi
atau harapan masyarakat.
Artinya, melepas atau meletakan
peran-peran atau identitas-identitas sosial yang terkait. Dengan kata lain,
fakta disembunyikan di depan atau beragam jenis tindakan informal akan muncul.
Pentas belakang sangat terlarang bagi interupsi dari masyarakat atau audiens,
oleh karena sifatnya yang sangat tertutup dan eksklusif. Dengan penjelasan
seperti itu, pada panggung belakang hanya segelintir pihak yang bisa
menyaksikan, team misalnya, yang
merupakan bagian dari treatikal terkait. Team merujuk pada sejumlah
individu yang bekerjasama mementaskan suatu routine (Goffman, dalam
Poloma, 1999: 234). Dengan asumsi seperti itu, maka team ini terbilang dinamis
sifatnya, untuk menguntungkan si aktor dan menjaga keberlangsungan rutin yang
sedang berlangsung.
Aktor atau individu dalam panggung
sosial juga melakukan pengelolaan kesan atau menajemen kesan (impression
management) dalam pentasnya. Manajemen kesan mengarah pada kehati-hatian
pada serentetan tindakan yang tidak diharapkan, gangguan yang tidak
menguntungkan dan kesalahan bicara atau bertindak maupun tindakan yang
diharapkan, seperti membuat adegan (Ritzer, 2014: 285). Hal ini bisa terhindar
dengan aktor menggunakan teknik mistifikasi. Mistifikasi dalam hal ini berarti,
aktor atau individu cenderung memistifikasi pertunjukkan mereka dengan
membatasi hubungan antara diri mereka dengan audiensi. Hal ini terwujud lewat
dibangunnya ‘jarak sosial’ antara diri mereka dengan audiensi, yakni terwujud
lewat menciptakan perasaan kagum pada audiensi atau masyarakat (Ritzer, 2014:
284).
Lebih jauh, dalam konsep terkait muncul
istilah role distance (jarak atau
kesenjangan peran). Jarak peran menjelaskan pemisahan yang jelas antara
individu dengan peran-peran yang diharapkan dimainkan atau pemisahan diri
individu dari beragam peranan yang ia (aktor) mainkan. Dengan kata lain, jarak
peran ini merupakan posisi kunci dari status seseorang. Pengertian lain dari
jarak peran ini merujuk ke istilah ‘penjarakan pelakon dari peran yang
dijalaninya’.
Sederhananya, pelakon akan
berperan sesuai dengan peran-peran yang melekat secara sosial dalam dirinya
tanpa bisa berbuat bebas (baca: inilah ‘penjarakan’). Menilik penjelasan
singkat di atas, bahwa Goffman menggunakan analogi drama untuk konsep
dramaturginya karena dalam perjumpaan sosial terjadi fenomena-fenomena yang
memiliki irisan kemiripan dengan sebuah ‘pertunjukan’ terhadap satu sama lain.
Analisis Konsep Dramaturgi
Seorang pegawai di Indomaret atau
Alfamart misalnya, senantiasa berpakaian seragam dengan rapi, menyambut
pelanggan dengan ramah, santun, bersikap formal dengan perkataan yang diatur,
mulai dari saat pelanggan masuk dengan mengatakan ‘selamat pagi, siang, selamat datang di Alfamart atau Indomaret, selamat
berbelanja’, sampai pelanggan di depan kasir, mereka (baca: pegawai)
menanyakan apakah ada kartu pelanggan,
menawarkan beragam produk, seperti pembelian pulsa atau barang-barang lainnya
atau promo yang sedang ada.
Namun, saat istirahat siang,
pegawai terkait bisa bersikap lebih santai, bersenda-gurau dengan bahasa gaul
dengan temannya atau bersikap tidak formal lainnya (ngerumpi, merokok, dan
sejenisnya). Saat pegawai terkait menyambut pelanggan, merupakan saat front stage baginya (saat pertunjukan).
Tanggung jawabnya adalah menyambut pelanggan dan memberikan pelayanan kepada
pelanggan tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang pegawai adalah perilaku yang
sudah digariskan atau diatur sedemikian rupa melalui skenarionya oleh pihak
manajemen atau atasannya. Ketika istirahat makan siang, pegawai bebas untuk
mempersiapkan dirinya menuju babak kedua dari pertunjukan tersebut (back stage). Sebenarnya, ini juga
merupakan skenario yang disiapkan oleh manajemen, yakni bagaimana pegawai
tersebut dapat menyegarkan diri untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya
(saat kembali bekerja ketika waktu istirahat selesai).
Seorang pegawai toko Alfamart atau
Indomaret yang dijelaskan di atas,
mempunyai dua macam karakteristik, yakni karakteristik panggung depan
dan panggung belakang. Ketika berada atau tampil di panggung depan dan dilihat
oleh audiens (pembeli), mereka menampilkan karakteristik yang berbeda pada saat
ada di panggung belakang (waktu istirahat). Sebagaimana seorang aktor dalam
suatu drama atau lakon, saat di depan audiens atau panggung depan, mereka harus
bisa untuk menjadi pribadi yang lain atau karakter yang berbeda, dengan
menggunakan setting, front personal
(gaya dan penampilan), manajemen kesan, dan jarak peran. Sedangkan ketika di
panggung belakang, mereka bisa memunculkan karakter asli diri mereka tanpa disembunyikan.
Contoh fenomena di atas adalah
salah sekian dari banyaknya praktik dramaturgi yang ada di dunia ini. Contoh
lain adalah beragam peran manusia, seperti; presiden, pengemis, selebriti,
guru, dosen, pegawai bank, pelajar, mahasiswa, dan lain sebagainya. Oleh sebab
itu, konsep dramaturgi selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik
dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar, sengaja ataupun tidak sengaja, di
mana manusia adalah aktor yang mengikuti naskah rancangan lingkungan
sosial.
*****
Referensi;
Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill dan Bryan S.
Turner. 2010. Kamus Sosiologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arisandi, Herman. 2015. Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi Dari Klasik Sampai Modern.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Poloma, Margaret M. 1999. Sosiologi Kontemporer.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Salim, Agus. 2008. Pengantar
Sosiologi Mikro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Usman, Sunyoto. 2015. Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[1] Dunia
merupakan panggung sandiwara sehingga orang bisa masuk dalam panggung memainkan
peran tertentu atau membawakan lakon kemudian keluar.
[2] Sederhananya
adalah proses awal terjadinya interaksi. Merupakan suatu proses di mana kita
membangun kesadaran diri dan konsep diri kita sendiri.
[3] Istilah yang
digunakan guna menjelaskan fenomena-fenomena, biasanya permainan atau ritus,
dengan membawa makna simbolis khusus bagi kelompok sosial tertentu atau
masyarakat pada umumnya.
[4] Misalnya
gaya fisik; gerak, sikap, dan sejenisnya.
Tags:
Bagus Ardiansyah
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment