Dimensi Sosial-teknologi Selfie


Dimensi Sosial-teknologi Selfie
 
[pic: capitalfm.co.ke]

A.A Chintya Maharani Putri
Pegiat Sanglah Institute

“Melalui seni kita dapat digerakkan
secara intensif oleh sesuatu
yang tidak ada, tidak pernah ada,
dan tidak pernah dapat ada.”
(Roland Barthes)

Dewasa ini, swafoto atau yang lebih populer dengan sebutan selfie sudah menjadi fenomena umum di era smartphone dan media sosial, selfie di Indonesia dikenal sebagai “swafoto” atau “foto narsisis” yang sering diidentikkan dengan sifat narsis dan alay. Istilah ini berasal dari bahasa inggris, self portrait yang berarti “potret diri”. Lebih jauh, swafoto kini menjadi kebiasaan lumrah bagi masyarakat kelas bawah hingga kelas atas, dan telah mewabah mulai dari anak-anak hingga usia lanjut. Oleh karenanya, menjadi tidak heran jika fenomena swafoto banyak ditemui di masyarakat dewasa ini. Swafoto telah mulai dikenal dunia sejak tahun 2013, dan telah resmi menjadi bagian dari Oxford English Dictionary, dengan definisi sebagai berikut: “A Photograph that one has taken of oneself, typically one taken with a smartphone or webcam and uploaded via social media” [“Sebuah fotografi yang diambil seseorang secara mandiri (dirinya sendiri), biasanya diambil dengan ponsel pintar atau kamera web dan diunggah ke situs media sosial”]. Aktivitas swafoto sendiri menjadi semakin populer di tahun 2014, bahkan sampai sekarang. Melalui riset bahasa yang dilakukan oleh editor Oxford Dictionaries (Arum, 2014; oxforddictionaries.com, 2017), terungkap bahwa frekuensi penggunaan kata selfie dalam bahasa inggris telah meningkat 17.000% sepanjang tahun 2013. Perkembangan selfie di dunia dapat diamati melalui media sosial, tidak sedikit pula selebriti luar negeri yang menjadikan dirinya sebagai aktor selfie.

Swafoto menjadi fenomena yang sering dijumpai di Indonesia sejak diperkenalkannya ponsel pintar dengan spesifikasi tinggi pada kamera ponsel, bahkan, berbagai produsen ponsel pintar dunia menawarkan fitur khusus bagi penggemar swafoto. Sebagai misal, slogan selfie expert ‘ahli selfie’ dari Oppo, more than selfie ‘ lebih dari sekadar selfie dari Samsung, serta slogan made for selfie ‘diciptakan untuk selfie’ dari produsen ponsel Nokia. Para produsen ponsel pintar tersebut memberikan spesifikasi resolusi tinggi pada kamera depan maupun belakang ponselnya, dilengkapi fitur flash, filter-filter digital pada aplikasi kamera depan ponsel yang semakin memudahkan pelaku selfie untuk berswafoto. Inilah yang kemudian mengakibatkan swafoto menjadi fenomena sosial pada masyarakat sekarang (remajakreatif.com, 2016).

Tidak hanya gawai, penunjang swafoto lainnya pun mulai bermunculan dan hadir dengan berbagai inovasi baru, seperti tongsis, kamera aksi (action camera), drone hingga aplikasi khusus selfie pada aplikasi store smartphone. Kemunculan penunjang selfie tersebut mendukung aktivitas swafoto di masyarakat yang menjadikan swafoto sebagai fenomena sosial. Fenomena selfie di masyarakat umumnya disebabkan oleh hasil foto selfie yang membuat pelakunya merasa puas oleh hasil foto tersebut sehingga menyebabkan “kecanduan”, semisal diri yang menjadi semakin cantik atau tampan, dan lain sebagainya.

Riset yang dilakukan Ludwig Maximilians University di Munich, Jerman menyatakan bahwa sebagai besar respondenya melakukan aktivitas swafoto setidaknya satu kali dalam sebulan (kompas.com, 2017). Lebih jauh disebutkan, dalam foto selfie terdapat nilai dan kontruksi citra tertentu yang sengaja ingin dibangun oleh pelaku selfie melalui tanda yang disisipkan pada gaya berswafotonya. Self photography ‘foto diri’ telah banyak dipilih oleh masyarakat daripada gaya berfoto lainnya, hal tersebut membuka pemahaman bahwa selfie memiliki “dimensi ritual” yang jauh lebih kompleks ketimbang gaya berfoto pada umumnya.

Selfie juga dilakukan UNICEF untuk mendorong masyarakat luas agar lebih peduli terhadap nasib anak-anak yang menjadi korban perang di Suriah melalui ber-selfie sesaat setelah bangun tidur untuk kemudian diunggah di media sosial dengan memakai tagar (#) tertentu. Pada 5 Oktober 2014, selebritis Jemina Khan di Twitternya mengawali unggahan kampanye oleh UNICEF, kemudian disusul oleh beberapa selebritis ternama lainnya (kompas.com, 2016). Walau hanya berupa gambar, foto selfie yang pada awalnya untuk memudahkan seseorang mengambil atau mengabadikan keadaan dirinya, kini menjadi viral (populer). Selfie ditujukan pula sebagai ajang menunjukkan eksistensi diri, promosi suatu produk, hingga mengkritisi kondisi perpolitikan suatu negara. Semua hal tersebut tanpa disadari telah menjebak individu maupun kolektif dalam realitas yang segalanya dikendalikan oleh konsumsi tanda serta sistem. Hal ini sebagaimana dijelaskan Jean Baudrilard (dalam Sunardi, 2002: 51) bahwa pola konsumsi manusia modern telah sampai pada tingkat tidak terkontrol (promiscuity of possession).

Keberadaan swafoto yang kini menjadi semakin tren di seluruh dunia seolah menjadikan berswafoto sebagai keharusan masyarakat milenial untuk kemudian dibagikan di akun media sosial miliknya. Swafoto bebas dilakukan oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja, namun pihak yang dominan berswafoto adalah para remaja baik perempuan maupun laki-laki, hal tersebut dapat diamati melalui aplikasi media sosial di internet. Kota di Indonesia yang dominan dengan aktivitas swafoto adalah Kota Denpasar, hal tersebut diketahui melalui pemberian tagar selfie (#selfie) pada foto selfie yang dibagikan ke media sosial Instagram. Kota Denpasar sendiri menempati peringkat ke-18 dari 100 kota ter-selfie di dunia. Kemudian disusul oleh Kota Yogyakarta dan Bandung.

*****

0 Comments:

Post a Comment