Etika Hindu dan Spirit Kapitalisme(?)


Etika Hindu dan Spirit Kapitalisme(?)
 
[background: balisightseeing.com]

Gede Kamajaya
Sosiolog Universitas Udayana
Pegiat Sanglah Institute

Calvinisme dan Spirit Kapitalisme
Tulisan ini bermula dari pertanyaan sederhana saya setelah membaca kembali karya monumental Max Weber, The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism. Apakah dalam literatur-literatur Hindu dijumpai pula doktrin-doktrin seperti Calvinisme yang menurut Weber menjadi salah satu alasan berkembang pesatnya kapitalisme di Eropa. Pertanyaan sederhana ini, mendorong saya untuk menelusuri sumber-sumber terkait. Dalam karya monumental di atas, Weber memberikan argumen tentang berkembangnya kapitalisme di Eropa karena didorong oleh etika Protestan, terutama Calvinisme. Calvinisme adalah sebuah sistem teologis yang dikembangkan oleh Yohanes Calvin, seorang reformis gereja kelahiran Perancis. Sebagai seorang reformis, pemikiran Calvin banyak dipengaruhi oleh St Augustine dan Martin Luther.

Max Weber [history.com]

Menurut Augustine, manusia tidak berdaya mengubah nasibnya, karena semua ada di tangan Tuhan, dan setiap manusia membawa dosa turunan sejak ia dilahirkan. Seturut dengan itu, Tuhan telah menentukan keselamatan seseorang di akhirat (predestination). Pemikiran Augustine yang mempengaruhi Calvin ini, kemudian bersilangkarut dan menjadi lebih matang lewat pengaruh pemikiran Luther. Luther percaya bahwa penghapusan dosa bisa dilakukan setiap manusia di hadapan Tuhan tanpa sakramen suci gereja, dan tanpa harus melalui perantara Paus. Karena itulah, Luther menentang surat pengampunan dosa. Lalu, bagaimana caranya agar manusia percaya bahwa dirinya adalah orang terpilih yang dosanya bisa diampuni, Calvin memberi jawaban atas persoalan ini. Agar dapat memperoleh kepercayaan diri sebagai manusia terpilih yang diampuni segala dosanya, maka aktivitas duniawi menjadi jawaban atas keragu-raguan keagamaan yang dapat memberi kepastian hidup pasca kematian pada setiap orang.

St. Augustine [the-philosophy.com]

Aktivitas duniawi yang dimaksud Calvin adalah bekerja. Bekerja melayani Tuhan ala Katolik yang sangat asketis diterjemahkan oleh Calvin dengan sangat rasional menjadi kerja material sehari-hari. Dengan demikian, setiap manusia dapat memenuhi panggilan melayani Tuhan tanpa harus hidup dalam dunia biarawan atau biarawati. Ukuran dipilihnya seseorang untuk diampuni dosanya adalah kesuksesan duniawi. Inilah yang membedakan asketisme Katolik dengan asketisme Calvinis. Asketisme Calvinis berpraktik dalam hidup keseharian setiap manusia sehingga melahirkan asketisme khas Calvinisme. Asketisme khas Calvinis ini mendorong penganut Calvinisme giat bekerja dan mengakumulasi modal mereka guna menjadi jaminan sebagai manusia terpilih untuk mendapat pengampunan dosa dan mendapat tempat di surga. Asketisme inilah yang menurut Weber mendorong lahirnya kapitalisme di Eropa.

Martin Luther [biography.com]

Etos kerja dalam Hindu
Apa yang menjadi doktrin Calvinis tentang keutamaan bekerja keras sejatinya juga bisa ditelusuri dalam beberapa literatur kitab Hindu yang di dalamnya memuat penjelasan tentang kerja dengan sangat detail, dalam Atharvaveda XX.18.3 misalnya, disebutkan “Para dewa menyayangi orang yang pekerja keras, Ia membenci orang yang malas, senantiasa sadar terhadap dharma untuk mencapai kebahagiaan tertinggi”. Masih dalam kitab yang sama, namun dalam Sloka yang berbeda, penjelasan tentang keutaman bekerja dan mengakumulasi modal sebagai seorang Hindu juga dijelaskan sangat gamblang: “Wahai manusia, kumpulkanlah kekayaan dengan seratus tangan, dan setelah engkau memperolehnya dharmakanlah itu dengan beribu tanganmu” (Atharvaveda: III 24.5).

Sebetulnya, masih banyak kitab-kitab Hindu yang menjelaskan, memberi perintah atau paling tidak bermakna sejalan dengan keutamaan bekerja, semisal; Regveda IV.33.11 (Para dewa menolong orang-orang yang tidak dilelahkan oleh kerja keras), Yajurveda XL.2 (Orang hendaknya hidup di dunia dengan bekerja keras, tidak ada cara lain bagi keselamatan orang, tidak mementingkan diri sendiri dan menjauhkan dari keterikatan). Beberapa Sloka di atas, menghendaki pemeluk Hindu bekerja keras, namun yang membedakannya dengan doktrin Calvinis adalah orientasi atau tujuan akhir dari kerja antara Hindu dengan Calvinis.

John Calvin [history.com]

Doktrin Hindu jika kita cermati lebih jauh lewat beberapa Sloka di atas, mirip asketisme ala Katolik, ketidakterikatan pada materi dan pelayanan pada Tuhan, namun demikian pelayanan pada Tuhan yang dimaksud tidak seperti Katolik yang harus hidup dalam dunia biarawati atau menjadi biarawan. Faktual, banyaknya Sloka dalam Hindu yang menjelaskan keutamaan bekerja keras, kesemuanya memberi penjelasan bahwa karateristik kerja dalam ajaran Hindu bersifat menolak individualisme (Yajurveda XL.2, Atharvaveda: III 24.5), tanpa pamrih (Bhagavad Gita III.9), serta hanya bekerja untuk Tuhan (Bhavad Gita V.10).

Ini jelas berbeda dengan doktrin Calvinis yang mendifinisikan kerja tidak hanya bersifat kudus namun juga bermotif ekonomi dan mengakumulasi modal terus-menerus untuk kebahagiaan duniawi sebagai ukuran hidup setelah kematian. Meskipun masyarakat Hindu mengenal diferensiasi sosial lewat catur warna (Bhagavad Gita:IV.13), di mana dalam catur warna itu salah satu kelompok masyarakat Hindu adalah kelas pedagang yang secara umum dipahami sebagai kelompok masyarakat pengakumulasi modal, namun sekali lagi: kerja dan akumulasi modal mereka berhubungan dengan definisi kerja sebagai pelayanan yang kudus, tidak menghendaki individualisme yang menjadi roh kapitalisme, serta sukses dunia yang tidak menjadi ukuran sukses di akhirat. (Atharvaveda : III 24.5).

Kerja sebagai Pelayanan: Meniru Sifat Tuhan dan Kerja Asketis
Kerja dalam Hindu secara mendalam dimuat dalam satu ajaran khusus yaitu Karma Marga Yoga. Karma Marga Yoga adalah jalan menuju Tuhan dengan bekerja. Karma dalam bahasa Sansekerta berakar dari kata “kri” yang berarti kerja. Seorang penganut Karma Marga Yoga akan mendedikasikan hidupnya dengan melayani semua mahluk hidup karena ia percaya entitas Tuhan menubuh dalam setiap ciptaanya, dengan melayani semua ciptaan Tuhan, sejatinya ia sedang melayani Tuhan. Bekerja adalah sifat Tuhan, ia mengatur dunia beserta hukum-hukumnya. “Bila AKU berhenti bekerja, dunia ini akan mengalami kehancuran...” (Bhagavad Gita. III.24). Bagian ini menunjukkan kepada kita semua bahwa penganut Hindu dituntut mengikuti sifat-sifat Tuhan yang terus bekerja.

Definisi kerja pada konteks ini menyangkut kerja sebagai pengorbanan atau persembahan, pelayanan, mengikuti jalan Tuhan, serta ritual (yajna) sebagaimana dijelaskan dalam salah satu Sloka Bhagavad Gita III.9: “...dunia diikat oleh kerja yang dilaksanakan sebagai yajna”. Yajna sendiri dalam Reg Veda VIII. 40.4  diartikan sebagai persembahan. Dari dua Sloka di atas, dapat ditarik benang merah bahwa kerja adalah bentuk dari yajnya, dan karena yajna adalah persembahan, maka ia (kerja) tidak terikat pada hal-hal material (kebahagiaan duniawi), namun berorientasi kudus. Dalam aliran filsafat Hindu, Karma termasuk dalam aliran Minimamsa, sebuah aliran filsafat Hindu Ortodoks (Astika) yang menerima langsung begitu saja kitab-kitab suci dan lebih mementingkan aspek spiritual.

Kerja dalam Hindu juga berorientasi asketis. Artinya, setiap manusia Hindu yang bekerja tidaklah dalam rangka untuk terus mengakumulasi modal agar menjadi kaya dan sukses di dunia. Tetapi, bekerja ditujukan sebagai persembahan dan upaya mengikuti jalan Tuhan. Bahkan, mereka yang bekerja dengan melepaskan keterikatan serta mempersembahkan kerjanya kepada Tuhan tidak akan tersentuh oleh dosa, mereka diibaratkan seperti daun teratai yang tidak basah tersentuh air (Bhagavad Gita V.10). Lebih gamblangnya, bagaimana kerja tidak berorientasi hasil di dunia materi juga muncul dalam kitab yang sama, namun dengan Sloka berbeda “...kecuali kerja yang dilakukan sebagai, dan untuk tujuan pengorbanan, dunia ini terbelenggu oleh kerja, oleh karena itu lakukanlah kegiatanmu (kerja) sebagai pengorbanan dan jangan terikat pada hasilnya” (Bhagavad Gita III.9).

Dengan demikian, semua definisi, hasil, tujuan, dan karateristik kerja dalam Hindu mengerucut pada satu tujuan akhir hidup pasca kematian, yaitu bersatunya atman dengan brahman yang dapat dicapai dengan penyerahan diri total melalui pelayanan dharma. Penjelasan ini memberi penegasan perbedaan antara asketisme Hindu dengan asketisme Calvinis. Berbagai dalil dalam kitab di atas, menunjukkan bahwa Hindu tidak memberi ruang bagi berkembangnya kapitalisme dan kultur individualistis mengingat kerja dalam konteks Hindu bersifat kudus, pun ukuran sukses di dunia bukanlah menjadi ukuran sukses di akhirat.

Predestinasi Calvinisme dan Dosa dalam Hindu
Predestinasi Calvinis dipengaruhi oleh St. Augustine yang memandang bahwa manusia tidak berdaya mengubah nasibnya karena semua ada di tangan Tuhan, berikut setiap manusia membawa dosa turunan sejak ia terlahir. Seturut dengan itu, Tuhan telah menentukan keselamatan seseorang di akhirat. Doktrin ini tidak ada dalam Hindu. Dalam konsep Hindu, manusia lahir dalam keadaan bersih tanpa dosa, karena atman sebagai pemberi hidup adalah bagian terkecil dari Tuhan (Bhagavad Gita XV.7), yang menjadikan manusia berdosa adalah keterikatan pada duniawi. Dunia dalam Hindu bersifat maya, menyilaukan dan penuh derita, jiwa yang tersesat dalam kebendaan (prakarti) tidak akan menemukan jalan pelepasan diri dan tidak dapat bersatu dengan Brahman (Tuhan).

Dosa dalam Hindu berlaku personal, artinya pelaku sendirilah yang menanggung dosa atas perbuatannya. Hal ini ditegaskan dalam Manavadharmasastra IV.240: Sendirianlah orang itu lahir, sendirian pulalah ia meninggal, sendirianlah ia menikmati pahala perbuatan baiknya, dan sendirian pulalah ia menderita ganjaran dosa-dosanya”. Artinya, tidak ada dosa warisan sebagaimana predestinasi Calvinisme dalam Hindu. Bhagavad Gita XVI. 21 menyebutkan, ada beberapa jalan yang menjadikan manusia berdosa yaitu, kama (nafsu keinginan), lobha (serakah), dan  krodha (kemarahan). Jika ketiga jalan ini tidak mengikat manusia di dunia, ia bisa lepas dari dosa. Dalam Hindu, ukuran sukses di akhirat, dipilih atau tidaknya manusia untuk mendapatkan tempat terbaik setelah kematian bukanlah kesuksesan duniawi, justru mereka yang terikat pada duniawi dan kebendaan tidak akan menemukan jalan kekekalan, dan akan tetap mengikuti roda samsara (kelahiran kembali). Jawaban untuk terlepas dari samsara bukanlah melalui kerja dan terikat pada hasilnya sebagaimana doktrin Calvinisme, namun menghindarkan diri dari kama, lobha, serta krodha.


*****

Bacaan lebih lanjut:
Buku;
Darmayasa. 2012. Bhagavad Gita. Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam.
Dudley, Dillard. 1987. Kapitalisme Dulu dan Sekarang. Terj. M. Dawam Rahardjo. Jakarta: LP3ES.
Kristeva, Nur Sayid Santoso. 2015. Kapitalisme, Negara dan Masyarakat. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Lekacham Rober & Van Loon Borin. 2008. Kapitalisme Teori dan Sejarah Perkembangannya. Yogyakarta: Resist Book.
Maswinara, I Wayan. 2008. Rgveda. Paramita: Surabaya.
Pudja, G dan Sudharta, Rai Tjokorda. 2010. Manava Dharmasastra. Paramita: Surabaya.
R.T.H. Griffith. 2005. Yajurveda Samhita. Paramita: Surabaya.
Sihombing, Daniel. 2017. Setelah Weber: Klarifikasi Tesis Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme; dan Prospek Calvinisme Progresif. Harian Indoprogress.
Sudrajat, Ajat. 1994.  Etika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Weber, Max. 2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Pustaka Promethea: Surabaya.

Internet;
http://phdi.or.id/artikel/etos-kerja-hindu-dan-kualitas-sdm
http://phdi.or.id/artikel/pengampunan-dosa-dalam-hindu

0 Comments:

Post a Comment