Mimi Peri hendak Dijamah Revolusi Agung: Tanggapan untuk KBMP

Mimi Peri hendak Dijamah Revolusi Agung:
Tanggapan untuk KBMP


Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute

“I don't want to be a product of my environment.
want my environment to be a product of me.”
Frank, The Departed (2006).

Kritik atas Kritik[1]
NARASI ini adalah tanggapan untuk tulisan KBMP (Kelompok Belajar Mahasiswa Progresif) yang menanggapi tulisan saya sebelumnya berjudul, Mimi Peri dan Revolusi Hasrat: Tinjauan Skizoanalisis Deleuze dan Guattari (15/12/17). KBMP membalas tulisan tersebut dengan tulisan berjudul: Berjuang secara Ultra-Radikal: Kritik atas Posisi Sanglah Institute (19/12/17). Jika memang KBMP mengkritik posisi Sanglah Institute (SI), maka tulisan ini akan menjadi “kritik atas kritik” mengingat SI-lah yang akan membantu KBMP memposisikan dirinya. Pertama-tama, posisi SI jelas, yakni meyakini potensi kreatif aktor untuk melakukan perubahan atau “perbedaan” sosial, bahkan SI meyakini perubahan sosial selalu berada di tataran individual. Sebelumnya, izinkan saya untuk sedikit berkeluh-kesah: cukup sulit untuk mengalamatkan tulisan ini kepada siapa, mengingat tulisan KBMP sebelumnya tak bertuan; sebuah tulisan yang tiba-tiba mewakili suatu entitas kolektif bernama KBMP—siapa yang bertanggung jawab terhadap tulisan itu? Ini yang membuat saya was-was.

Baiklah, untuk sesaat mari kita lupakan kekhawatiran ini. KBMP secara serius mengambil misal gerakan kolektif 212 sebagai contoh aksi massa yang bisa mencapai “tujuan-tujuan besar tertentu”, bahkan KBMP mengaitkan aksi ini dengan perjuangan kelas sosial lewat anggapan bahwa kebanyakan partisipan aksi 212 yang diinisiasi oleh FPI adalah masyarakat kelas bawah. Tetapi kemudian argumen KBMP menjadi rancu dengan tak menampik adanya kepentingan-kepentingan terselubung di dalamnya, berbagai kepentingan ini jika hendak dipertegas: adalah “aktor-aktor” yang bermain pada ranah yang dimaksud. Bahkan secara jelas KBMP menulis: “...sebagai korban dari ketidakadilan yang membuat mereka dijadikan ‘bidak politik reaksioner’ oleh kelompok semacam FPI”. Dari sini, saya justru ingin mempertanyakan posisi KBMP sesungguhnya: berada di ranah kolektif, ataukah individual? KBMP melihat aksi ini sebagai gerakan massa, ataukah individual?

Selanjutnya, KBMP beralih pada analisis framing dalam melihat dampak aksi 212 yang mendapati cap intoleran. Namun, analisis yang digunakan terkesan dangkal karena seolah melihat peristiwa itu sebagai sesuatu yang “telah jadi”, yakni sebagai suatu total set relasi yang dikonstruksi oleh kelompok borjuis di mana pemerintah termasuk di dalamnya. Tidakkah bisa kita melihat lebih jauh ke belakang siapakah yang bertanggung jawab atas framing itu, apabila ini dilakukan, maka kita akan kembali menemui “aktor-aktor”, termasuk mereka dalam posisi berlawanan, entah itu Buni Yani, Rizieq Shihab, atau yang lainnya—Firza Husein mungkin? Dalam hal ini, individu atau aktor selalu mempunyai rasionalisasi yang jelas lagi solid, sementara massa (pengikut) sebagaimana diutarakan Vilfredo Pareto, selalu berkarakter irasional. Mengapa? Ini dikarenakan hanya pemikiran individulah yang mampu mengatasi narasi besar, bukan pemikiran kolektif—karena secara emosional selalu terikat oleh norma-norma. Dengan demikian terbukti, Revolusi Oktober 1917 yang didaku sebagai “revolusi agung” sekalipun tak lebih sebagai revolusi individual Lenin, sebagai bentuk pembajakan kaum Bolshevik yang dikomandoi Lenin terhadap situasi dan kondisi Rusia kala itu, atau mengutip kata-kata Fiqri Tuanaya: “Revolusi Lenin yang diikuti domba-dombanya”.

Kaum Borjuis yang Mana? Proletar yang Mana?
Semenjak kita hidup dalam era kapitalisme-lanjut, menjadi sulit membedakan antara mereka yang terklasifikasi dalam kelas sosial atas, menengah, juga bawah. Bahkan para aktivis yang berkoar menyuarakan kaum miskin-tertindas, nyatanya juga berpenampilan bak borjuis. Mengutip peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati yang berfokus pada fenomena kelas menengah di Indonesia, ia mengatakan jika kelas menengah memiliki penghasilan sekitar 1 hingga 10 juta rupiah per bulan.[2] Jangan-jangan, apa yang disuarakan para aktivis ini keblinger, mereka tidak sedang memperjuangkan kelas sosial bawah, melainkan kelas menengah alias patty bourgeois. Nyatanya, di setiap demo buruh tertanggal 1 Mei kita bisa menyaksikan apa-apa yang mereka kenakan dan kendarai. Tak sedikit para buruh mengendarai motor-motor sporty mahal seperti Ninja. Ini artinya, mereka meminta kenaikan upah bukan untuk mencukupi kebutuhan hidup, tetapi gaya hidup—membeli (mengkredit) berbagai komoditas konsumtif. Apabila telah demikian, maka buruh-buruh kita pun adalah buruh-buruh yang telah terborjuasi; mereka sendiri tak rela dikatakan miskin dan papa. Lalu, kepada siapakah suara-suara sumbang perlawanan terhadap borjuasi dialamatkan ketika setiap kita memang bercita-cita menjadi borjuis?

[merdeka.com]

Lebih jauh, semenjak terjadi dekomposisi modal dan dekomposisi tenaga kerja, perjuangan kelas pun menjadi rancu. Sebuah badan usaha tak lagi dimiliki perseorangan, tetapi anggota dewan, bahkan setiap kita bisa memiliki badan usaha dengan berinvestasi atau melakukan pembelian saham meski dengan jumlah minimal. Begitu pula, fragmentasi tenaga kerja yang telah sedemikian rupa membuat kita tak bisa mengategorikannya dalam satu kelas sosial tunggal. Ada tenaga kerja terdidik, tak terdidik, trampil dan tak trampil, profesional serta non-Profesional, pekerja tetap dan kontrak, serta masih banyak lagi—termasuk freelancer. Dari sini, perjuangan kelas yang masih didengungkan terkesan kadaluarsa. Mengapa? Karena seyogiyanya perjuangan kita saat ini adalah perjuangan untuk status sosial, perlawanan kita saat ini adalah perlawanan terhadap birokrasi dan birokratisasi kehidupan.

Apabila dalam tulisan balasan sebelumnya KBMP menyertakan analisis makroekonomi guna menjelaskan infrastruktur sosial-ekonomi saat ini, maka saya akan melakukan hal serupa lewat sudut pandang lain. Saya mengambil misal menjamurnya sistem kerja outsourcing atau job sharing. Sistem kerja ini, mau tak mau dan secara terpaksa memang harus ditempuh untuk memperluas lapangan kerja. Sebuah pekerjaan yang sebetulnya bisa dilakukan satu orang dengan gaji sekira 5-6 juta per bulan, harus dibagi untuk dua orang sehingga masing-masing mendapat gaji rata-rata 2-3 juta per bulan. Pandangan kekiri-kirian tentu akan menyerang sistem kerja ini karena dinilai sangat merugikan. Namun, ini jalan terbaik ketimbang perluasan lapangan kerja tak terjadi. Seringkali, mereka sendiri—para kekiri-kirian—lupa akan prinsip: “Kepada setiap orang dimintakan sesuai kesanggupannya, dan kepada setiap orang diberikan sesuai kebutuhannya”. Nyatanya, hidup ini murah, hanya saja gengsinya yang mahal. Melancarkan kritik terhadap borjuasi tanpa melihat fakta kehidupan buruh yang terborjuasi pun menjadi aneh. Seperti hendak memberantas nyamuk dengan cara membunuhnya satu per satu tanpa menjamah sarangnya sama sekali. Di sini, buruh tak lagi berfokus pada pembenahan mentalitas, tetapi pada motor keluaran terbaru, gawai keluaran terbaru, pakaian-pakaian bermerk, bioskop, konser-konser musik, sarana-sarana hiburan dunia maya yang boros, dan lain sejenisnya.

Perubahan Sosial Didefinisikan Kembali
Tampak jelas sekali jika KBMP memandang perubahan sosial sebagai suatu peristiwa agung; ihwal yang direncanakan secara matang lagi sistematis, melibatkan massa kolektif yang besar, akbar, bertipikal 212 bahkan kalau bisa melampauinya. KBMP juga percaya jika basis struktur ekonomi-politik dapat dirubah dengan tatanan yang sama sekali baru. Bagi saya, semua ini hanya kian menunjukkan kemiskinan hasrat yang menjadi-jadi. Pertama-tama, kita harus kembali mendefinisikan “perubahan sosial” yang dimaksud. Pada pakemnya, perubahan sosial adalah perubahan pada struktur dan fungsi masyarakat. Sebagai misal, pada umumnya struktur keluarga terdiri dari ayah-ibu dan anak yang belum menikah, tetapi dengan hadirnya tren single parent, maka struktur dan fungsi keluarga pun mengalami perubahan. Seorang ayah tak lagi hanya memiliki fungsi ekonomis pada keluarga jika ia adalah orangtua tunggal, tetapi juga mempunyai fungsi afeksi sebagai pengganti peran ibu. Begitu pula jika seorang wanita menjadi orangtua tunggal, ia tak hanya memiliki fungsi afeksi, tetapi juga mempunyai fungsi ekonomis bagi keluarga. Misal lain yang tergolong dalam perubahan sosial adalah naik-turunnya angka kelahiran dan kematian dalam masyarakat. Sementara, perubahan budaya adalah perubahan pada nilai, norma, dan teknologi masyarakat. Dalam hal ini, baik perubahan sosial maupun perubahan budaya dapat berkelindan atau saling mempengaruhi satu sama lain.

Menilik definisi perubahan sosial di atas, faktual perubahan sosial lebih sering terjadi secara spontan, tak direncanakan, serta sebagai akumulasi peristiwa-peristiwa kecil sebelumnya—bahkan saat ini pun kita sedang berada di dalam arus perubahan itu. Peristiwa-peristiwa kecil ini, diinisiasi oleh individu-individu atau aktor-aktor sosial yang tak saling mengenal, bersifat diaspora atau “dimana-mana” (menyebar), hingga pada satu titik gerakan otonomis dan kreatif individual tersebut bertemu dan menjadi kekuatan tersendiri. Sebagai misal, tren single parent di atas, emansipasi gender, LGBT, hijrah individual, dan lain-lain. Lalu, sejauh mana daya ledak individual ini? Dalam diskusi malam pemutaran film Soekarno beberapa waktu lalu, saya telah memberikan contoh konkret literasi sebagai sarana perjuangan individual yang paling konkret. Bagaimana karya Jean Jacques Rousseau menginspirasi berubahnya tatanan pemerintahan Perancis, bagaimana novel Oliver Twist Charles Dickens menginisiasi reformasi Undang-undang Hak Anak di Inggris, bagaimana prosa The Sorrow of Young Werther milik Goethe membawa masyarakat Jerman larut dalam gelombang bunuh diri massal—meski contoh ini sangat negatif, serupa dengan lantunan Gloomy Sunday Andras Spielt—serta bagaimana buku harian Anne Frank membuka mata dunia tentang betapa kejamnya fasisme.[3]

Lalu, sejauh mana lagi ledakan individual? Mereka yang kembali mempertanyakan ini boleh jadi menyangsikan gerakan-gerakan profetik. Nyatanya, apa yang dilakukan Musa, Yesus, dan Muhammad adalah suatu gerakan individual. Dalam perspektif nietzschean, merekalah individu-individu sejati karena hanya mereka yang mampu mengatasi narasi besar, sedangkan kita sekadar “pengikutnya”. Lalu, perubahan sosial macam apa yang dibawa individu? Steve Jobs dan Bill Gates merubah cara kita menubuh bersama teknologi. Lewat kemampuan kreatifnya sebagai aktor, Julian Assange mampu membuat negara-negara dunia, termasuk PBB bertekuk lutut memenuhi tuntutan transparansi; hal serupa turut dilakukan Edward Snowden. Strategi ekonomi Muhammad Yunus di Banglades mampu mengentaskan kemiskinan secara luas sehingga ia diganjar Nobel Ekonomi. Reformasi birokrasi berjalan mulus di tangan Ahok, dan pastinya, mempelajari manusia-manusia seperti Ahok tak bisa dilakukan lewat pendekatan struktural, melainkan keaktoran. Termasuk juga, apa yang dilakukan Nadiem Anwar Makarim dengan gojek-nya.

Serangkaian “hal kecil” yang dilakukan para individu di atas sesungguhnya mencerminkan revolusi pada era sekarang: revolusi kekinian—to revolt today means to revolt against war (Albert Camus). Revolusi kelas sosial telah punah, ditambah lagi perkembangan teori-teori sosial bernuansa marxis dan marxian kini telah bergeser dari basis kolektif menjadi individual. Undang-undang yang diciptakan sudah baik, tertuju pada penciptaan kesejahteraan warga negara, hanya tinggal implementasinya di lapangan yang perlu dibenahi. Mengadopsi pemikiran Jurgen Habermas tentang “modernitas sebagai proyek yang belum selesai”, bukan berarti kita harus menolaknya sama sekali dan menggantinya dengan tata dunia baru, melainkan sekadar perlu melakukan pembenahan di sana-sini; begitu pula yang terjadi dengan kondisi kita saat ini. Revolusi tak diperlukan, tanah air sedang menyembuhkan dirinya, revolusi hanya akan mencipta luka baru: yang kita perlukan hanyalah melakukan berbagai pembenahan; memberantas beragam bentuk praktik korupsi, melawan birokratisasi kehidupan, serta mengembalikan reformasi pada relnya. Menjadi sangat utopis untuk merombak struktur secara total, dan menjadi lebih tepat untuk mengganti manusia-manusianya.  

Di samping itu, undang-undang yang dibuat juga sudah memberikan peluang individu untuk melakukan tugas-tugas keaktorannya. Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan pada setiap warga negara untuk menggugat undang-undang atau berbagai kebijakan yang dinilai merugikan. Ini artinya, kedaulatan individu menjadi setara di hadapan negara, dan memang sudah seharusnya begitu. Pun menjadi hal yang lumrah ketika seorang warga negara bisa mengalahkan negara. Terlepas dari semua itu, dalam konteks pemerintahan, sudah sepatutnya kita menginsyafi betapa suatu kebijakan takkan mungkin pernah menyenangkan (baca: mengakomodasi) semua pihak, tapi setidaknya, kebijakan itu telah ditakar berbagai implikasinya sehingga yang tercetus kemudian adalah putusan yang tak membawa dampak kerugian lebih besar. Tentu, menjadi jauh lebih mudah apabila kita berada di luar struktur, kita bisa berlaku layaknya Robin Hood atau Sinbad, menjadi pahlawan moral yang digadang-gadang. Mengapa? Karena bandit-bandit sosial ini tak memiliki sesuatu pun untuk dipertaruhkan—nothing to lose.

Apa Salah Makarim?
Nadiem Anwar Makarim secara tepat membuktikan tesis Adam Smith: “Semakin individualis seseorang, semakin ia berguna bagi masyarakatnya”. Makarim membentuk sistem, meyakinkan kita betapa era ekonomi-informasi telah hadir di tanah air. Ia merubah nasib jutaan manusia Indonesia, memperbaiki taraf kehidupan ekonomi mereka, membantu jutaan manusia memperoleh status sosial. Tak hanya itu saja, ia membuat kita paham arti penting efisiensi dan efektivitas dalam bertransportasi, ditambah lagi, drama-drama ojol (ojek online) mewarnai keseharian hidup kita sebagai narasi-narasi yang menghibur dan tak jarang pula mengelus kemanusiaan kita, pun yang tak kalah penting: narasi-narasi itu telah menjadi narasi sosial yang menyadarkan kita betapa kehidupan dunia maya tak lagi terpisahkan dari kenyataan: manusia pun memanjangkan jangkauannya.

[matakota.id]

Namun boleh jadi, bagi manusia kekiri-kirian, apa yang dilakukan Makarim bukanlah apa-apa, itu hanya mereka lihat sebagai kepastian sejarah bahwa hal yang demikian—semacam ojol—cepat-lambat memang akan muncul sebagai implikasi logis hadirnya era informasi. Manusia-manusia kekiri-kirian lebih tertarik menyorot Makarim sebagai pemilik modal yang mengeksploitasi jutaan manusia; manusia licik yang duduk nyaman di singgasana besarnya sambil terus menghisap keringat jutaan orang. Jika memang demikian, keutopiaan akut manusia kekiri-kirian pun dapat dikonfirmasi. Mereka masih berimajinasi mungkinnya masyarakat dibangun tanpa stratifikasi. Sejak zaman Firaun hingga turunnya Imam Mahdi kelak, masyarakat akan terus terstratifikasi. Mengapa? Karena hanya pertukaran kekuasaanlah yang menyebabkan masyarakat terus bisa berdinamika dan melanggengkan dirinya.

Tanpa pertukaran kekuasaan, aktivitas sosial takkan berlangsung. Segala bentuk pergerakan lahir dari kekuasaan, bahkan hingga sekecil-kecilnya, seorang anak yang disuruh orangtua membeli cabai di warung bahkan. Karakter power ‘kekuasaan’ inilah yang membuat kita harus menyerahkan sedikit kedaulatan diri secara sukarela agar segalanya berlangsung—dan juga agar kita bisa tetap hidup. Seseorang yang bekerja dimana saja tetap tak bisa berlaku seenaknya, membolos kerja misalkan. Oleh karenanya, kritik yang dilancarkan manusia kekiri-kirian ibarat seorang yang telah diberi mata kail dan pancing, lalu meminta kolam, kemudian meminta payung atau terpal untuk berteduh, dan pada akhirnya meminta segala yang telah dimiliki orang yang sudah membantunya.

Mimi Peri tetap Berada di Kayangan
Meskipun masih terdapat kekurangan di sana-sini, kapitalisme tetap terbukti memberi infrastruktur terbaik bagi manusia. Cara kerja kapitalisme lah yang memungkinkan televisi, kulkas, gawai, dan berbagai komoditas lain lambat-laun diproduksi secara murah hingga kita bisa menikmatinya. Seringkali manusia kekiri-kirian tak menyadari, justru kapitalisme lah yang mewujudkan cita-cita mereka akan hadirnya masyarakat internasional, yakni lewat globalisasi yang dibawa kapitalisme. Manusia kekiri-kirian juga tak sadar, cita-cita mereka akan kepemilikan alat produksi secara merata juga telah diwujudkan kapitalisme, yakni lewat laptop dan gawai yang hampir dimiliki setiap orang saat ini; faktual, kedua instrumen itu bisa ditempatkan sebagai alat produksi.

Dari sini, semakin jelas jika Mimi Peri menolak dijamah revolusi agung, bagaimana tidak, revolusi agung sekadar menawarkan ketidaknyataan yang lebih tak nyata—simulasi yang lebih tersimulasi, alam limbo dari mimpi (mimpinya mimpi). Mimi Peri tetap memilih berada di kayangan sambil terus menasehati manusia kekiri-kirian dengan salam sapa manjanya: “Surga tak akan menolong mereka yang tak menolong dirinya sendiri”. Kayangan menolong Mimi Peri karena Mimi Peri menolong dirinya sendiri.


*****




[1] Dalam subbab ini, saya sangat menahan diri untuk menggunakan judul Kritik atas Kritik yang Kritikal.
[2] Penulis menghubungi langsung beliau untuk kutipan ini.
[3] Novel-novel Jules Verne menginspirasi beragam inovasi teknologi dunia, dari penciptaan roket, kapal selam, helikopter, hingga pesawat luar angkasa. Fashion yang diciptakan Coco Chanel merubah cara berpenampilan wanita hingga saat ini, yang pada gilirannya berimplikasi pula pada cara interaksi wanita dengan pria.

0 Comments:

Post a Comment