Korupsi dan Banalisme Kejahatan

Korupsi dan Banalisme Kejahatan

[Painting by Paul Kuczynki]
Gede Kamajaya
Pegiat Sanglah Institute

Pada tulisan saya sebelumnya tentang korupsi, saya telah berbincang tentang  korupsi mulai dari sudut pandang antropologi hingga filsafat. Kali ini saya ingin mengajak pembaca untuk melihat korupsi sebagai suatu bentuk banalisme. Istilah “banalisme” di sini mengambil terminologi dari hasil reportase Hannah Arendt, seorang filsuf politik Jerman atas kasus ditangkapnya Adolft Eichmann, seorang tentara Nazi yang melarikan diri ke Argentina dan ditangkap intel Israel pada tahun 1960 karena terlibat pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman pada era Hitler. Sesampainya di Yerusalem, Arendt terkejut karena Eichmann yang merupakan salah seorang pelaku kejahatan kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah umat manusia adalah orang yang biasa saja dan sama sekali tidak tampak kejam, bahkan sangat taat hukum. Inilah yang oleh Arendt disebut dengan “banalitas kejahatan” dalam bukunya, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Sebuah situasi di mana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa saja bahkan sebuah kewajaran. Pendeknya, pelaku kejahatan tidak selamanya menampilkan wajah garang, menyeramkan atau sebagaimana gambaran seorang bajak laut yang beringas. Maka sebetulnya yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat adalah ketidakberpikiran, karenanya kejahatan bisa jadi dilakukan oleh mereka yang amat rapi dan duduk bak eksekutif karena subjek kejahatan tidak lagi memposisikan dan atau mengimajinasi diri sebagai korban (Watimena, 2012).

Berbeda dengan ulasan saya sebelumnya tentang korupsi dalam perspektif antropologi, bahwa salah satu akar korupsi adalah masyarakat kita yang memiliki tradisi “beri-memberi” sebagai bentuk ucapan terima kasih atau hanya sebatas sebagai bentuk penggambaran menyambung rasa yang kemudian terlembagakan hingga kini. Dan, sedikit-banyak tradisi ini menjangkiti sistem negara modern berikut dalam berbagai regulasi yang diproduksinya. Kali ini saya ingin melihat korupsi sebagai sebuah kejahatan sistemik yang terus saja terjadi meskipun berbagai hal telah coba dilakukan, namun tetap saja, seringkali para koruptor tidak merasa melakukan kejahatan. Perilaku inilah yang saya sebut sebagai bentuk banalisme kejahatan sebagaimana gambaran Hannah Arendt terhadap Eichmann.

Bagaimana korupsi sebagai banalisme juga pernah ditulis di Kompas dengan sangat apik oleh Rohaniwan (www.antikorupsi.org). Ia memulai penjelasannya dengan mob-rule Aristoteles. Ukuran sebuah kebenaran adalah banyaknya orang melakukan suatu hal yang lambat-laun akan menjadi standar sekaligus aturan. Sebagai banalisme, korupsi pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah sistem. Semula, pada dirinya sendiri korupsi adalah buruk secara moral. Namun, karena korupsi dilakukan massal dan secara periodik, lama-lama cakupan moralitas korupsi berubah menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan paling tidak untuk komunitas mereka (para pelaku).

Sebulan terakhir, media tengah dihebohkan dengan pemberitaan Hak Angket DPR untuk kasus korupsi E-KTP yang disebut-sebut melibatkan banyak politikus di Senayan. Berbagai tanggapan dan reaksi muncul dari banyak pihak. Sebagian menyebut apa yang dilakukan DPR adalah benar sebagai sebentuk tindakan melaksanakan kewenangan, sebagian menyebut apa yang dilakukan DPR adalah upaya untuk melemahkan KPK dan koalisi untuk saling menyelamatkan. Publik dibuat tambah geram ketika DPR mendatangi para koruptor di sel tahanan yang katanya untuk mendapatkan data. Terlepas dari berbagai pro-kontra Hak Angket DPR untuk kasus korupsi E-KTP, saya pikir kita sepakat bahwa selama korupsi di Indonesia dianggap sebagai hal yang biasa saja (banal) maka selama itu pula korupsi akan tetap menjangkiti dan tumbuh subur. Jika Hak Angket DPR untuk kasus korupsi E-KTP adalah bagian dari cara yang santun, sistematis bin yuridis untuk menjadikan korupsi sebagai sesuatu yang biasa (banal) maka kita wajib menjadi “pagar hidup” KPK.
  
Bacaan lebih lanjut:
Buku;
Arendt, Hannah. Eichmann in Jerusalem: Reportase tentang Banalitas Kejahatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wattimena, A.A.Reza. 2012. Filsafat Anti-Korupsi. Yogyakarta:Kanisius

Internet;
http://www.antikorupsi.org/id/content/banalitas-kejahatan-korupsi

1 comment:

  1. Seharusnya membiasakan yang benar bukan membenarkan yang biasa
    Menarik tulisannya mas gede kamajaya

    ReplyDelete