"Mengapa orang Bali marah?"

 


I Gusti Agung Paramita

Akademisi UNHI


TANPA diduga ternyata peristiwa itu terjadi. Seorang anggota DPD-RI yang hampir meraih 700 ribu suara rakyat Bali diberi pelajaran oleh orang Bali sendiri. Di kantor DPD-RI, Wedakarna “dikepluk” kepalanya oleh seseorang berbaju putih berkacamata.

Ini adalah buntut amarah masyarakat Bali—yang tersinggung terhadap pernyataan Wedakarna selama ini di media sosial. Tak hanya dipertanyakan afiliasinya dengan Hare Krisna, ocehannya soal betara-betara lokal dan menyebutnya sebagai makhluk suci menuai kecaman keras.

Jika saya boleh berpendapat, ini adalah risiko seorang politisi yang selalu memainkan isu-isu identitas di Bali. Ia yang berkibar di panggung politik karena isu-isu identitas, sekarang ia malah terjebak dalam kubangan isu identitas yang dibuatnya sendiri. Ia yang dipilih karena membangun sentimen agama, akhirnya ia tersuruk pula di tengah sentimen identitas lokal.

Ini pelajaran bagi para politisi di Bali—bahwa isu agama, keyakinan dan identitas sangatlah sensitif. Mencoba berselancar di atasnya, siap-siap diterjang tsunami yang besar. Ya, sudahlah. Mereka sudah kadung marah. Sekarang saya akan berbicara soal asal-usul kemarahan itu.

Sebenarnya orang Bali paling pandai menyembunyikan amarah—kroda. Saya menyebutkan sakti ring kayun—pandai menyembunyikan perasaan. Mereka bukan tipe orang yang menunjukkan ledakan emosional di depan publik.

Mereka punya saluran untuk meledakkan emosi primordial. Untuk mengungkapkan marah saja, orang Bali tak pernah terang-terangan. Ia selalu membungkus marahnya dengan diksi-diksi rumit. Mereka lebih pandai mensublimasi amarah, bukan merasionalisasi emosi. Sublimasi itu dalam berbagai saluran: kesenian, bahkan perilaku skizofrenik.

Ada juga media lain seperti balian. Saya sering mendengar cerita orangtua bahwa ketika orang Bali membenci seseorang dia tidak langsung “menyontok kepala” orang itu. Namun mereka akan pergi ke balian—menggunakan jasa balian untuk membuat pelajaran terhadap orang yang dibencinya. Tidak penting apakah jasa balian itu manjur atau tidak—yang terpenting emosi mereka sudah termediasi.

Saya juga punya cerita. Dulu ada keluarga yang sedang cekcok urusan tanah. Mereka tidak memperkarakan di ranah hukum, tidak pula baku hantam. Tapi satu dari keluarga tersebut menyewa seorang penari topeng untuk memberi sindiran kepada keluarganya. Begitupun sebaliknya, keluarga lain juga menyewa pelawak untuk membuat sindiran tandingan. Begitulah cara orang Bali menyampaikan amarah.

Tapi menariknya, ketika jasa balian tak lagi bertuah, bahkan profesi itu sudah tak diminati lagi, kini banyak ditemukan aksi tebas-menebas di antara orang Bali. Mereka sudah berani terang-terangan menyampaikan amarah dalam bentuk fisik. Kekerasan tidak dalam bentuk verbal lagi, namun sudah fisik.

Panjang ceritanya mengapa pergeseran ini terjadi. Namun yang pasti, amarah orang Bali yang bersumber dari persoalan keyakinan sudah ada sejak dulu. Terlalu lama agama orang Bali diposisikan subordinat oleh agama-agama mayoritas. Mereka disebut tak beragama, kaum pagan, bahkan terbelakang. Padahal mereka adalah pewaris kebudayaan nusantara.

Orang Bali selalu jadi obyek interpretasi. Para orientalis “menghindukan” mereka dan mengaitkannya dengan Hindu di India. Bahkan Guermonprez menyebut bahwa orang Bali dihindukan tanpa sepengetahuan mereka. Tidak hanya orientalis, mereka juga menjadi obyek misionaris penjajah. Beberapa kali praktik dan ritus mereka diejek, dikatakan terbelakang, primitif sehingga layak untuk dialihagamakan. Meskipun tak semua setuju dengan upaya ini, misalnya orang-orang seperti Korn dan F.K Bosch yang menentang upaya misionaris Kristen tersebut.

Sejak era kemerdekaan, agama orang Bali tak diakui. Mereka dituding tak beragama. Kelompok Islam saat itu berhasil memasukkan konsepsinya tentang agama di kementerian agama dan menetapkan syarat-syarat agama itu seperti apa. Salah satunya mendapat pengakuan internasional. Orang Bali pun berupaya mengikutinya. Sejak ini pula, kelompok neo-Hinduisme, termasuk sampradaya masuk ke Indonesia.

Setelah itu situasi berbeda. Proyek pariwisata menjadikan identitas lokal sebagai “jualan turisme”. Muncul upaya-upaya pelestarian budaya dan penggalian identitas lokal. Pasca Reformasi terjadi kekacauan politik, dan di Bali sendiri muncul isu-isu sensitif tentang Bali Merdeka, Ajeg Bali. Ini diperkuat ketika terjadi bom di Kuta. Ekonomi ambruk, pariwisata Bali pincang. Sentimen etnik semakin menguat.

Sebutan nyame selam berubah jadi jeleme selam. Orang dauh tukad—sebuah istilah yang selalu keluar dari bibir Wedakarna. Isu ini dimainkan untuk membangkitkan emosi etnik masyarakat Bali. Dan cukup manjur—ia dicintai, diundang ke sana-kemari—dianggap hero Bali urusan membela agama Hindu di Bali. Suara gemuk pun diraih—mengantarkan Wedakarna menjadi seorang senator.

Sekarang, di masa pandemi Covid-19, ia terjebak oleh permainannya sendiri. Isu identitas yang mengibarkan namanya, kini menjadi “senjata makan tuan”. Orang Bali yang dulunya sibuk di bisnis pariwisata, sekarang punya banyak waktu merespons isu-isu identitas.

Kemarahan pun tak terbendung. Orang Bali sudah tak perlu balian lagi untuk memediasikan emosi. Tak perlu mencari legitimasi niskala untuk sekadar marah. Tak perlu lagi membuat diksi-diksi rumit hanya untuk marah.

Ia sudah tampil beda: memukul langsung di bagian kepala!!! Klepok!

Dan babak baru sedang dimulai.

Rahajeng semeng.

0 Comments:

Post a Comment