Fungsi
Fantasi dan 80 Juta Rupiah
Wahyu
Budi Nugroho
Sosiolog
Universitas Udayana
Pegiat
Sanglah Institute
Fungsi
fantasi adalah untuk “menjaga minat subyek”. Saya beberapa kali mendengarkan
penjelasan ST Sunardi tentang fantasi saat ia mengulas pemikiran Jacques Lacan:
“Kenapa masih ada orang yang ingin menikah? Ya, karena memang mereka masih
punya fantasi pernikahan; bahwa menikah itu menyenangkan, punya pasangan, punya
anak, dan lain-lain. Kalau mereka sudah tak punya fantasi pernikahan lagi, ya
mereka takkan mau menikah.”, ucapnya. Dari sini, saya juga bisa mengambil
contoh lain, misalkan, Anda sangat ingin makan cilok. Keinginan Anda untuk
makan cilok itu sesungguhnya dikompori oleh fantasi—bahwa Anda berfantasi
memakan cilok—itulah yang menyebabkan Anda ngiler
dan ingin makan cilok. Dengan begitu, semenjak Anda keluar rumah untuk
berkeliling mencari penjual cilok, hingga Anda memakannya, itu sepenuhnya
digerakkan oleh fantasi.
Betapa
hebatnya fantasi, saking hendak mewujudkannya, kita nyaris rela melakukan apa
pun, terkadang sampai mengorbankan akal sehat—semisal tetap rela mencari
penjual cilok meskipun hujan-hujan. Fantasi inilah yang menyebabkan segalanya
menjadi tak terukur dan tak bisa diukur. Itulah mengapa, ada seseorang yang
rela mengeluarkan uang hingga 80 juta rupiah agar bisa berkencan dengan
selebritis. Mengapa? Tak lain karena fantasilah yang mendorongnya; bahwa ia
bisa mewujudkan fantasinya untuk berkencan dengan seleb yang selama ini cuma
bisa dilihatnya di layar kaca. Dus,
uang sebesar apa pun menjadi tak berarti. Titik lemah fantasi manusia ini kerap
pula dimanfaatkan berbagai produsen komoditas konsumtif. Para korban fantasi
akan rela berhemat secara keterlaluan, mengambil kredit yang menyiksa, mencuri,
bahkan menjual diri hanya untuk memperoleh komoditas konsumtif keluaran
terbaru, misalnya.
Dalam
kajian fantasi, kita mengenal istilah obyek
hasrat (OH) dan obyek penyebab hasrat
(OPH). Dalam kasus seleb senilai 80 juta rupiah, sang seleb itu sendiri
adalah obyek hasrat, yakni kediriannya secara konkret; wajahnya, tubuhnya, dan
lain sebagainya. Sementara, predikat atau simbol yang menyertainya, yakni
sebagai artis layar kaca atau selebritis, sesungguhnya mewakili sesuatu yang
lebih besar dan lebih luas di baliknya, yakni bahwa ia terklasifikasi sebagai artis atau seleb sebagaimana umumnya yang
sering tampil di layar kaca dan “tak terjamah”. Dalam hal ini, obyek hasrat dan
obyek penyebab hasrat hanya kian mendorong subyek untuk terus menjaga minatnya.
Pertanyaannya,
apakah fantasi selalu bersifat licik dan memanipulasi subyek? Memang. Tetapi
kabar baiknya, manusia juga memerlukan fantasi untuk sukses; bagaimana
seseorang berfantasi memiliki rumah besar, mobil, dan hidup mapan; serangkaian
hal itulah yang menyebabkan dirinya akan terus berusaha mewujudkan fantasinya.
Sementara, bagi pasangan yang telah “jenuh” misalkan, mereka memerlukan fantasi
untuk bisa terus berhubungan seks. Itulah mengapa, pada pasangan yang telah
jenuh, hubungan seks selalu melibatkan empat orang. Si suami membayangkan si
istri sebagai wanita lain, sedangkan si istri membayangkan si suami sebagai
pria lain—ada empat orang yang terlibat di dalamnya! Bagi remaja yang bermasturbasi
untuk menghindarkan diri dari tindakan biadab, juga memerlukan fantasi. Itulah
mengapa, seorang remaja yang bermasturbasi sesungguhnya selalu melibatkan dua
orang atau lebih, tak pernah sendirian; yakni melibatkan dirinya dan
obyek-obyek fantasinya.
Perlu
juga dicatat, prinsip fantasi adalah Che
voi? Atau: “Apa yang kau inginkan dariku?”.
*****
0 Comments