You have the freedom to defend the world’s freedom and I have the freedom to continue moving forward. 

-Eren Yeager

 

Eren Yeager, tokoh utama anime Attack on Titan, merupakan salah satu tokoh yang mengalami perkembangan karakter paling drastis dalam jagat per-anime-an. Ia bertransformasi dari seorang ‘pion’ dalam masyarakat yang tersublimasi dogma sejarah menjadi seseorang yang memiliki will to power untuk mengendalikan takdirnya sendiri. 


‘Gelapnya’ Anime Attack on Titan

Attack on Titan atau yang dalam bahasa Jepang dikenal dengan Shingeki no Kyojin, merupakan sebuah adaptasi anime dari serial manga yang ditulis dan diilustrasikan oleh Hajime Isayama. Anime ini dapat dikatakan ‘menyimpang’ dari kebanyakan anime lain yang inspiratif dan memuat banyak pesan moral yang biasanya menggunakan kekuatan persahabatan untuk mengalahkan musuh. Attack on Titan dikatakan sebagai anime yang gelap dan dipertanyakan secara moral, salah satunya karena penyajian Anime ini menggunakan latar belakang yang terinspirasi oleh era Nazi, ia menggambarkan dunia distopia yang penuh dengan kegelapan, penindasan, dan kengerian totalitarianisme. Selain itu adegan-adegan berdarah yang ditampilkan dan juga permainan psikologis Hajime Isayama dalam tiap plot twist-nya berhasil mengantarkan anime ini memenangkan nominasi Best Drama dan Best Character untuk karakternya Eren Yeager dalam penghargaan Crunchyroll 2023 (Mokta, 4)

Attack on Titan berlatar belakang dunia di mana umat manusia tinggal dalam sebuah kota yang dikelilingi oleh tiga dinding raksasa guna melindungi mereka dari raksasa pemakan manusia yang disebut dengan titan. Dunia tempat mereka tinggal tersebut bernama Pulau Paradis.

Peta Pulau Paradis yang dikelilingi 3 dinding, yakni dinding Maria, Rose, dan Sina

Eren Yeager, sang protagonist, bersumpah untuk membunuh para titan setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri titan-titan ini berhasil menjebol dinding, menghacurkan kota, dan memakan ibunya hidup-hidup. Pasca penghancuran para titan ini, Eren bersama dua orang temannya, Mikasa Ackerman dan Armin Arlert, memutuskan untuk bergabung dengan Survey Corps, yakni sebuah unit pasukan yang ditugaskan untuk memburu para titan. Selain itu, Survey Corps juga memiliki tugas lain, yakni melakukan eksplorasi, pemetaan, serta ekspansi kemanusiaan di luar tembok. Karena bergabung dengan kelompok inilah, Eren, akhirnya memahami bahwa dunia di dalam tembok yang mereka hidupi selama ini adalah sebuah sangkar besar penuh kepalsuan dan rahasia besar yang dibuat oleh raja Pulau Paradis, Karl Fritz. 

Karl Fritz yang ternyata memiliki kekuatan founding titan menggunakan hal tersebut untuk menghapus ingatan warga Pulau Paradis tentang dunia. Ia menciptakan ingatan palsu bahwa peradaban di dalam dinding adalah peradaban satu-satunya yang tersisa di bumi. Ingatan palsu ini akhirnya diwariskan selama ratusan tahun, ia menjelma menjadi sebuah keyakinan lewat buku-buku di sekolah, dan juga dogma para agamawan yang menyembah dinding. 

Selain itu, ternyata banyak hal lain yang mulai terungkap seiring berjalannya episode anime ini. Seperti misalnya ada beberapa manusia yang memiliki kekuatan untuk bisa berubah menjadi 9 titan utama, dan Eren ternyata salah satunya. Pulau Paradis ternyata adalah tempat Raja Fritz mengungsikan rakyatnya pasca ia melakukan penjajahan pada bangsa Marley dengan memanfaatkan kekuatan titan yang dimilikinya. Titan-titan di Pulau Paradis ternyata orang-orang Eldia yang diubah menjadi titan tanpa akal oleh bangsa Marley sebagai bentuk balas dendam terhadap bangsa Eldia. 

Rahasia-rahasia gelap ini mengubah Attack on Titan yang pada saat season pertamanya tampak seperti anime heroisme biasa dan kemudian berubah menjadi anime bergenre politis dan psychological di season 3 hingga akhir. Eren yang saat pertama bergabung di survey corps berambisi untuk mengabisi para titan justru berubah menjadi seseorang yang “terus maju” pada tujuan hakikinya, yakni mengakhiri semua kehidupan di bumi karena baginya kehidupan tersebutlah yang dapat membebaskan manusia dari kesengsaraan panjang ini.


Kehidupan Warga Paradis Menurut Zarathustra

Filosofi Eren tentang hak atas kebebasan telah banyak dibahas dari berbagai perspektif. Namun, yang masih kurang didalami adalah gagasan bahwa kebebasan membutuhkan kekuatan. Kita tidak bisa mempertahankan atau mencapai kebebasan secara pasif, kebebasan membutuhkan semacam kehendak (will), lebih spesifiknya lagi adalah kehendak untuk berkuasa (will to power). Eren tidak mengerti mengapa ia dan orang-orangnya harus hidup seperti binatang ternak di dalam tembok. Survey corps yang secara berkala pergi keluar tembok untuk melakukan pemantauan menghadapi berbagai kesulitan, rasa sakit dan kematian secara terus menerus. Eren adalah salah satu dari sedikit orang yang mengaggumi mereka, sementara sebagian besar masyarakat justru melihat tindakan mereka sebagai sebuah kesia-siaan. Mereka puas dengan hidup terkurung selamanya. 

Dinamika sosial ini mirip dengan dinamika dalam buku Nietzche yang tentang Zarathustra. Dalam buku tersebut, Zarathustra mengatakan bahwa tuhan kini telah mati (God is dead) dan kita harus bangkit dari nihilisme eksistensial. Proposisi bahwa tuhan telah mati bukanlah sebuah proposisi yang harfiah dan biasanya disalahpahami, sebaliknya kematian tuhan adalah simbol dari pelepasan masyarakat Barat dari agama dan menuju sekularisasi. Nietzsche berpikir bahwa kemunduran agama berpotensi mengarah pada nihilisme, di mana individu akan tercerabut dari pandangan dunia yang memberikan makna dalam hidup mereka (Morgan, 1943). Nietzsche tidak menyukai agama karena dogmanya dianggap sebagai bentuk perbudakan psikologis dan menghambat kreativitas dan indivisualitas manusia (Philo-Notes, 2023).

Dalam dunia Attack on Titan, kelompok-kelompok agama di dalam tembok menggunakan dogma ini untuk membuat orang-orang tetap tenang dan tidak mempertanyakan realitas situasi mereka. Para agamawan dan beberapa petinggi Paradis menyembunyikan realitas mengenai kehidupan di dalam tembok yang sebenarnya. Selain itu, orang-orang Eldia yang tertinggal di benua bangsa Marley juga ditanamkan keyakinan bahwasanya mereka adalah inferior dan keturunan iblis. Karena ini pula mereka merasa pantas untuk tunduk dan ditindas oleh bangsa Marley sebagai bentuk penebusan dosa nenek moyang Eldia di masa lalu yang pernah menjajah Marley. Filosofi Nietzsche menekankan pentingnya mempertanyakan dan menantang norma dan nilai yang ada, dan beberapa masyarakat Paradis seperti Eren, Armin, Mikasa dan orang-orang yang tergabung dalam Survey Corps mewujudkan semangat kebebasan dan kreativitas individu ini saat mereka berjuang untuk kelangsungan hidup dan kebebasan mereka.


Survey Corps menggunakan sayap sebagai simbol satuannya untuk melambangkan kebebasan

Ketika Eren akhirnya mengetahui kebohongan-kebohongan sejarah yang selama ini ditanamkan padanya, ia kehilangan pegangan karena kekuatan dogma telah runtuh, selanjutnya, Eren mengalami apa yang disebut oleh Nietzsche sebagai rasa sakit eksistensial (existential pain). Rasa sakit eksistensial adalah kesedihan dan penderitaan mendalam yang muncul dari konfrontasi dengan realitas kehidupan yang keras sendirian karena agama dan norma-norma budaya tidak lagi efektif memberikan makna dan tujuan bagi kehidupan manusia. Nietzsche berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi rasa sakit ini adalah dengan menerima penderitaan dan menciptakan nilai-nilai dan tujuan hidup sendiri (Freeman, 2018).


Will to Power Eren Yeager

Filosofi Nietzche sangat dipengaruhi oleh Arthur Schopenhauer, Scopenhauer adalah filsuf yang mengembangkan gagasan tentang kehendak untuk hidup (will to life) yang dibangun Nietzche berdasarkan kehendak untuk berkuasa (will to power(Anderson, 2022). Kehendak untuk hidup adalah keinginan bawaan dan primitive manusia untuk mempertahankan diri dan mengejar keinginan dan tujuan individu. Hal ini mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, seperti naluri untuk bertahan hidup, mengejar kesenangan, menghindari rasa sakit, dan kepuasan kebutuhan dan keinginan pribadi. Menurut Schopenhauer, kehendak untuk hidup ini lekat dengan penderitaan dan ketidakpuasan (Wicks, 2022).

Kehendak untuk hidup inilah yang diimani oleh warga Pulau Paradis. Ketika para titan untuk pertama kalinya berhasil menjebol tembok, mereka (warga Pulau Paradis) mereka mengorbankan satu sama lain untuk bisa didahulukan masuk ke dalam kapal penyelamat. Beberapa bahkan dengan egoisnya menghambat antrian masuk ke kota di lapisan dinding yang lebih dalam hanya untuk menyelamatkan harta benda mereka.

Episode 6 Season 1. Seorang pedagang menghambat jalan masuk ke dinding Rose karena menganggap barangnya lebih berharga dari hidup manusia lainnya

Sementara sebagian besar warga Paradis menjadi budak dari will to life, Eren Yeager justru melampaui kehendak tersebut dan hidup dengan dengan kehendak untuk berkuasa (will to power). Ia mendorong diri untuk bisa lepas dari dominasi dogma dinding dan berbalik mendominasi diri sendiri. Eren merasa bahwa bertahan di dalam dinding tidak akan memberikannya kebebasan yang sejati, maka dari itu ia memanfaatkan kekuatan titan yang dimilikinya untuk memberikan kebebasan bagi seluruh umat manusia dengan cara melaksanakan Rumbling. Rumbling adalah peristiwa yang dipicu oleh Eren untuk membangkitkan 10.000 titan kolosal dengan tujuan menghancurkan seluruh kehidupan di muka bumi. Rumbling ini melibatkan titan yang dibekukan oleh Karl Fritz untuk membuat dinding di Pulau Paradis. Lewat rumbling, Eren berharap kekejaman dimuka bumi akan hilang dan peradaban baru dapat dimulai lagi.

Potongan manga Attack on Titan Chapter 130 yang menampilkan Eren saat membangkitkan rumbling

Kebebasan versi Eren ini mengikuti gagasan Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa (will to power). Gagasan ini yang dikembangkan oleh Nietzche sebagai antithesis dari gagasan Scopenhauer tentang kehendak untuk hidup (will to life) dan bagaimana hal tersebut sebenarnya memotivasi pesimisme dalam kehidupan manusia (Anderson, 2022). Kehendak untuk berkuasa atau will to power diterjemahkan sebagai kehendak untuk menerjang rintangan demi mencapai tujuan utama, di mana rintangan yang dimaksud adalah kebenaran dunia (yang biasanya berwujudkan dogma agama, sejarah, atau narasi besar lainnya). Ia merupakan bentuk paling realistic dari intuisi tentang realitas kehidupan manusia dana lam semesta. Ia tidak dapat ditahan atau dimusnahkan karena segalanya berasal darinya. Pada titik eksremnya, gagasan Nietzsche ini merupakan kesadaran yang bergejolak di bawah alam bawah sadar, dan terus-menerus mengintervensinya. Kehendak ini eksis tanpa ada sosok besar seperti tuhan, pencipta, atau subyek agung lainnya (Porter, 2006).  

Kehendak untuk berkuasa ini memberika manusia kemampuan untuk menafsir dan melihat hubungan kausalitas dalam dunia. Dunia sebelumnya diterjemahkan sebagai sesuatu yang bukan-manusia (inhuman), namun berkat kemampuan menafsir dan subyektivitas dari kehendak untuk berkuasa, manusia dapat menjadikan dunia “manusiawi” (human(Wattimena, 2011). Eren menafsirkan kebebasan sebagai sesuatu yang baru dapat digapai ketika kemaslahatan di dunia benar-benar telah habis. Membebaskan warga Paradis dari ancaman titan dan kungkungan tembok baginya hanya akan memberikan kebebasan sementara karena kebencian akan terus diwariskan oleh umat manusia kini ke generasi selanjutnya. Eren memutuskan untuk mengorbankan semua orang termasuk dirinya guna mencapai kebebasan tersebut. Bahkan ketika Armin dan Mikasa berusaha mencegahnya dan memberikan alternatif ‘yang lebih manusiawi’, Eren tetap menolak dan teguh pada kebebasan yang inigin dicapainya.


Master Morality on The Man Who Keep Moving Forward

Eren di kenal sebagai “The man who keep moving forward” karena tekadnya yang tak kenal lelah dan tak tergoyahkan untuk melawan kekuatan yang menindas yang mengancam umat manusia. Julukan ini merangkum perkembangan karakter Eren di sepanjang seri di mana ia terus maju meskipun menghadapi rintangan yang besar. Dari mimpi besarnya di episode awal untuk membasmi titan dan mejelajahi dunia di kuar dinding, hingga saat terungkapnya rahasia asli titan dan dunia di mana Eren akhirnya memilih untuk membangkitkan rumbling untuk menciptakan kebebasan baru sesuai versinya. Eren tak pernah sekalipun mencoba untuk mundur atau ragu pada keputusannya.

Mentalitas "terus maju" Eren menunjukkan penolakannya terhadap halangan-halangan seperti kemunduruan, pengorbanan atau kenyataan suram dari dunia yang ia tinggali. Dia bersedia menghadapi kebenaran yang paling keras, membuat pilihan yang sulit, dan mengambil tindakan drastis dalam mengejar tujuannya. Eren tidak menggunakan kompas baik-buruk dalam memutuskan tindakannya tersebut, karena baginya itu adalah jalan satu-satunya. Di sini kita dibenturkan pada dilema bahwasanya rencana Eren untuk mengahancurkan dunia dan memulainya kembali adalah tindakan yang egois karena hal tersebut hanya bertumpu pada kebebasan versinya. Sementara itu, di sisi lain, kita tidak bisa memungkiri bahwa tindakan jahat tersebut sebenarnya kembali lagi pada niatan baik Eren untuk membebaskan umat manusia dari kesengsaraan.

Nietzsche pernah mencoba menjawab mengenai mengapa tindakan-tindakan tertentu seperti membantu orang dianggap tindakan baik sementara menjadi egois digolongkan sebagai hal jahat dalam bukunya yang berjudul On the Geneology of Morality. Setelah meninjau beberapa jawaban absurd yang ditawarkan pada zamannya, Nietzsche menolaknya dan memulai dari awal, dengan tujuan tidak hanya untuk menjawab pertanyaan tersebut, tetapi juga untuk menentukan dari mana ide tentang baik, buruk, dan jahat berasal. Dalam upayanya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia menarik beberapa kesimpulan mengejutkan yang memiliki implikasi luar biasa terhadap cara kita memandang diri kita sendiri dan kehidupan yang kita pilih untuk dijalani. Untuk menjelaskan gagasannya, Nietzsche memberikan sebuah cerita. Dia menggambarkan sebuah masyarakat kuno dengan dua moralitas, yaitu moralitas tuan dan budak (Hendricks, 2018).

Moralitas budak, niat suatu tindakan sebagai faktor penentu nilai moralnya. Mereka tidak dapat berdiri sendiri. Fokus mereka adalah meringankan penderitaan, apapun yang berguna atau menentang penindasan karena hal tersebut dianggap ‘yang baik’ secara moral. Perasaan-perasaan seperti empati, altruisme, dan tidak mementingkan diri sendiri adalah ‘yang baik’ (Lacewing, 2016). Hal ini dapat dilihat dalam anime Attack on Titan melalui penilaian moral yang dibuat oleh karakter berdasarkan persepsi mereka tentang niat orang lain. Sebagai contoh, karakter dalam Attack on Titan sering kali menilai orang lain berdasarkan kesetiaan mereka kepada umat manusia atau para Titan, dan niat mereka dilihat sebagai baik atau jahat.

Di sisi lain, moralitas tuan adalah kebalikannya. Mereka menenukan nilai moral suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya. Mereka yang kuat, kreatif, kaya, dan berkuasa. Mereka dapat melakukan apa pun yang mereka suka. Mereka mencintai diri mereka sendiri dan menganggap diri mereka sebagai ‘yang baik’. ‘Baik’ berasal dari penegasan diri, sebuah perayaan atas kehebatan dan kekuatan diri sendiri. Mereka tidak membutuhkan orang lain untuk mengatakan bahwa mereka hebat. Tapi perlu diingat bahwa memiliki moralitas tuan ini bukanlah sebuah pemanjaan diri atau sifat narsis; moralitas ini hanya membenci setiap tanda kelemahan seperti altruisme atau empati (Lacewing, 2016).  Moralitas ini ditunjukkan oleh Eren Yeager, sebagai seorang karakter, mencontohkan aspek moralitas utama ini ketika dia mengambil tindakan yang dia yakini akan menghasilkan hasil yang diinginkan (kebebasan sejati), terlepas dari implikasi moral mengenai cara ia melakukannya (menghabisi seluruh umat manusia di bumi).


Eren Yeager Sang Übermensch

Karena moralitas tuan yang dimiliki Eren dan tindakannya yang menekankan individualism serta menolak nilai-nilai moral tradisional, maka, melalui kacamata Nietzsche, Eren telah mewujud menjadi sosok Übermensch. Dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra, konsep Übermensch, yang sering diterjemahkan sebagai "Manusia Super" atau "Superman," memainkan peran sentral. Übermensch mewakili manusia visioner dan ideal yang melampaui norma-norma moral dan sosial tradisional untuk mencapai aktualisasi diri yang hakiki. Übermensch dicirikan oleh kemampuan mereka untuk menciptakan nilai-nilai mereka sendiri, bebas dari pengaruh moralitas tradisional dan batasan-batasan masyarakat (yang saat itu dikaitkan dengan gagasan Tuhan dan agama Kristiani). Mereka terbebas dari mentalitas budak dan mampu bangkit di atas massa, merangkul individualitas dan potensi mereka sendiri. Übermensch menolak kenyamanan dan keamanan kawanan, menerima risiko, penderitaan, dan mengatasi diri sendiri dalam mengejar kebesaran (Nietzsche, 2000; Braak, 2015).

Seperti halnya Übermensch, Eren menunjukkan keinginan yang kuat untuk berkuasa dan penolakan terhadap norma-norma moral dan sosial tradisional. Dia menantang tatanan yang sudah mapan dan mengejar tujuan dan cita-citanya sendiri, bahkan jika hal itu bertentangan dengan harapan dan nilai-nilai orang lain. Eren menunjukkan tekad yang tak kenal lelah dan penolakan untuk terkungkung oleh keterbatasan yang dibebankan kepadanya, berjuang untuk mengatasi rintangan dan mencapai visinya tentang kebebasan. Kesediaan Eren untuk menghadapi kebenaran yang tidak nyaman, kesiapannya untuk menerima penderitaan dan pengorbanan, dan dorongannya untuk menegaskan nilai-nilainya sendiri selaras dengan beberapa aspek Übermensch. Dia menolak menerima status quo dan bersedia membuat pilihan yang sulit dan mengambil tindakan drastis untuk mengejar tujuannya. 


Kesimpulan

Filosofi Nietzsche memiliki beberapa hubungan dengan serial anime Attack on Titan dan karakter utamanya, Eren Yeager. Salah satu hubungan utamanya adalah eksplorasi moralitas, khususnya konsep moralitas budak dan moralitas tuan. Dalam Attack on Titan, ada dua jenis moralitas yang dapat diamati di sepanjang cerita . Hubungan lain antara filosofi Nietzsche dan Attack on Titan adalah eksplorasi kebebasan dan kehendak bebas (will to power). Nietzsche menekankan pentingnya kebebasan individu dan penolakan terhadap batasan moral. Dalam Attack on Titan, para karakter terus-menerus berjuang dengan rasa kebebasan mereka sendiri dan batasan dunia tempat mereka tinggal. Eren Yeager, khususnya, mewujudkan gagasan ini ketika ia berusaha untuk membebaskan diri dari kungkungan dunianya dan mengejar visinya sendiri tentang kebebasan, bahkan jika hal tersebut berarti melakukan penghancuran dunia. Selain itu, konsep Nietzsche tentang Ubermensch, atau "manusia super" juga dapat dikaitkan dengan Eren Yeager sebagaimana ia mengimani moralitas tuan sepanjang hidupnya.


Evolusi Eren Yeager dari Season 1 hingga Season Terakhir Attack on Titan
Wujud titan tak berakal/mindless titan
Eren Menyaksikan ibunya dimakan oleh titan

Referensi:

 

Anderson, R. L. (2022, May 19). Friedrich Nietzsche. Retrieved June 27, 2023, from Stanford Encyclopedia of Philosophy: https://plato.stanford.edu/entries/nietzsche/#pagetopright

Braak, A. v. (2015). Zen and Zarathustra: Self-Overcoming without a Self. The Journal of Nietzsche Studies, 46(1), 2-11.

Freeman, T. J. (2018). Thus Spoke Zarathustra notes. Retrieved June 27, 2023, from Tim Freeman: https://tfreeman.net/Philosophy/360/

Hendricks, S. (2018, July 11). The master and slave moralities: what Nietzsche really meant. Retrieved June 28, 2023, from Big Think: https://bigthink.com/personal-growth/the-master-and-slave-moralities-what-nietzsche-really-meant/

Mokta, P. (4, March 2023). Attack on Titan wins Best Drama and Best Character for Eren among others at Crunchyroll Anime Awards 2023. Retrieved June 29, 2023, from SK Anime: https://www.sportskeeda.com/anime/news-attack-titan-wins-best-drama-best-character-eren-among-others-crunchyroll-anime-awards-2023

Morgan, G. A. (1943, November). What Nietzsche means. Westport: Greenwood Press. Retrieved June 27, 2023, from Academy of Ideas: https://academyofideas.com/2012/11/nietzsche-and-the-death-of-god/

Nietzsche, F. (2000). Sabda Zarathustra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Philo-Notes. (2023, April 9). Nietzsche's Critique of Dogma. Retrieved June 27, 2023, from Philo-Notes: https://philonotes.com/2023/04/nietzsches-critique-of-dogma

Porter, J. I. (2006). Nietzsche's Theory of the Will to Power. In K. A. Pearson, A Companion to Nietzsche (pp. 548-564). London: Blackwell.

Lacewing, M. (2010). Nietzsche on Master and Slave Morality. London: Routledge Taylor &Francis Group

Wattimena, R. A. (2011, December 19). Kekuasaan, Kemunafikan, dan Kehidupan: Penafsiran Ulang atas Pemikiran Friedrich Nietzsche. Retrieved June 28, 2023, from Rumah Filsafat: https://rumahfilsafat.com/2011/12/19/kekuasaan-kemunafikan-dan-kehidupan/#_ftnref6

Wicks, R. (2022, October 12). Schopenhauer and the insatiable will to live. Retrieved June 27, 2023, from Institute of Art and Ideas: https://iai.tv/articles/schopenhauer-and-the-insatiable-will-to-live-auid-2262.

Keterangan

  • Founding titan adalah titan pertama yang merupakan nenek moyang dari sembilan titan utama. 
  • Orang-orang di Pulau Paradis adalah Bangsa Eldia yang diungsikan dari benua Bangsa Marley
  • Titan tanpa akal adalah titan yang memakan manusia di luar tembok. Mereka adalah manusia yang diubah menjadi titan dengan serum tertentu dan tidak bisa lagi berubah menjadi manusia, ingatannya sebagai manusia juga telah hilang.
  • Manga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut komik Jepang atau novel grafis aslinya diterbitkan di Jepang dan memiliki gaya gambar yang khas.




0. Pengantar dan Pembuka Penulis:

“Teruslah bertumbuh(!)”

 

Dua setengah tahun pasca penerbitan buku ini, penerbit Pustaka Pelajar menghubungi dan memberitahu saya jika stok buku ini sudah hampir habis, mereka pun meminta izin untuk mencetaknya kembali. Mendengar itu, tentu saya sangat senang, namun saya tak bisa langsung mengiyakan pinta penerbit, karena sebagaimana komitmen saya sebelumnya akan buku ini; ia akan menjadi “buku yang bertumbuh” di cetakan-cetakan berikutnya; dalam arti, di setiap cetakan baru, akan selalu saya tambahkan subbab-subbab baru mengenai perkembangan pemikiran Marx yang sangat bervariasi. Awalnya, saya kira akan bisa menambahkan subbab-subbab baru tersebut dalam dua hingga tiga bulan, tetapi ternyata tidak demikian. Kondisi tanah air, dan juga dunia yang masih dalam atmosfer Covid-19 kala itu nyatanya berdampak besar terhadap kondisi psikologis saya sehingga saya didera “kelesuan membaca dan menulis”. Biangnya saya kira cukup jelas: segala proses akademik yang terdigitalkan.

 

Aktivitas daring selama pandemi menyebabkan zoom fatigue, kelelahan psikis dan jasmani yang kemudian menghilangkan gairah intelektual. Thus, sama sekali tak ada tulisan baru yang saya buat selama pandemi. Adapun buku Sosiologi Kehidupan Sehari-hari yang terbit di tahun 2021—setebal 423 halaman—dan buku kumpulan cerpen Burungku yang terbit di tahun 2022, sebetulnya adalah kumpulan tulisan lama saya yang dibukukan; sekadar untuk mengisi kekosongan penerbitan buku di dua tahun itu. Barangkali, ini pula hikmah yang bisa saya ambil di masa pandemi: akhirnya memiliki waktu untuk mengumpulkan banyak tulisan lama yang berserak. Pasca pandemi mereda, nyatanya saya mengadapi tantangan baru, jabatan struktural kampus yang diembankan ke saya praktis membuat saya kembali tak bisa bergerak. Hari-hari disibukkan oleh persoalan administrasi dan koordinasi. Miris, di tengah upaya membangkitkan kembali gairah intelektual, tiba-tiba saya harus terjebak dalam “sangkar besi birokrasi”.

 

Barulah satu semester setelahnya, tepatnya ketika saya merasa baru bisa beradaptasi dengan rutinitas baru ini; secara perlahan saya kembali mencoba menghidupi dunia intelektual: membaca dan menulis. Saya memulainya lewat membaca narasi-narasi ringan seperti kumpulan cerita pendek, novel, dan tulisan-tulisan filsafat populer. Saya pun juga mulai kembali menulis, sedikit demi sedikit, dan perlahan, termasuk kembali menulis untuk subbab baru buku ini. Di tengah upaya keras untuk menghadirkan cetakan kedua dari buku ini—yang saya inginkan terus bertumbuh—nyatanya saya sekadar mampu merevisi subbab Teori Konflik Ralf Dahrendorf , menambahkan satu subbab baru tentang pemikiran marxisme posmodern Fredric Jameson, dan sedikit merevisi bab Penutup. Khusus untuk subbab baru dalam buku ini; itu adalah permintaan kawan saya, Kaisar Atmaja, yang kini merupakan dosen di Prodi Sosiologi, FISIP, UIN Walisongo. Permintaan yang telah lama ia ajukan sejak pertama kalinya membaca buku ini di tahun 2019. Setidaknya, lewat subbab baru ini, saya memenuhi komitmen untuk menjadikan buku ini terus bertumbuh; meskipun minim dan sangat perlahan.

 

Tak lupa, saya ingin kembali mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk berbagai pihak yang berperan dalam penulisan dan penerbitan buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada penerbit Pustaka Pelajar,  terkhusus Mbak Nana yang senantiasa sabar menanti tulisan penulis—setelah hampir setahun lamanya untuk cetakan kedua. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk istri dan anak penulis, Enky Permatasari dan Swara Revolusi, serta kepada inner circle penulis sejak Sekolah Menengah Atas hingga kini; Sony Amartha, Rio Yunarwanto, Robi Aditya Rachman, Adnan Buyung, dan Umar Mustofa. Begitu juga untuk kawan-kawan di Sanglah Institute; M. Zaenal Arifin, Gede Kamajaya, Bagus Ardyansyah, A. A. Chintya Maharani Putri, Fidiana Rakmawati Mujiatno, Gede Dharma Wirata, I. G. A. Ayu Brenda Yanti, Ni Putu Laksmi Prameswari, dan lain-lain. Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk para kolega di Prodi Sosiologi dan Fakultas Ilmu Sosial-Politik Universitas Udayana, serta terkhusus untuk sosiolog muda Universitas Negeri Makassar, Sopian Tamrin. Di samping itu, penulis turut mengucapkan terima kasih kepada panitia Philofest ID 2021 yang sudah mengajak penulis ikut serta dalam festival filsafat terbesar di tanah air.

 

 

 

Tukad Buaji, Denpasar, Bali

11 Juni 2023,

Wahyu BN.



Judul Buku: Memahami Kembali Marx, Marxisme, dan Perkembangannya

Penulis: Wahyu Budi Nugroho

Penerbit: Pustaka Pelajar

Cetakan Pertama, Agustus 2019

Cetakan Kedua, Agustus 2023

Tebal: xvi + 212 halaman

ISBN: 978-623-236-368-7



[Pic: cccb.org]

Fina Yulfa Laila

Mahasiswi Sosiologi, Universitas Udayana

 

Pengkajian Nussbaum akan karya sastra yang memperlihatkan kondisi malang kelompok tertindas mengantarkan Nussbaum pada pemikiran yang disebutnya sebagai “imajinasi naratif”. Imajinasi naratif yang ditawarkan Nussbaum mengajak masyarakat global untuk memberi pemahaman terkait pentingnya mempelajari sastra, membaca secara kritis, dan mengolah rasa simpati kepada individu atau kelompok yang berbeda.

 

Pemahaman kritis yang dikonsepsikan Nussbaum adalah cara berpikir kritis yang mendorong seorang individu untuk berempati dan mengalami sekaligus mengajukan pertanyaan secara kritis tentang pengalaman yang diamati. Nussbaum mengutip pernyataan Booth yang menjelaskan bahwa penilaian kritis yang ideal harus dilakukan dengan percakapan atau diskusi bersama orang lain yang persepsinya berbeda dan menantang persepsi yang kita miliki. Perlu diingat, dalam melakukan penalaran secara kritis harus diiringi dengan pembacaan secara simpatik.

 

Rasisme dengan alasan kejahatan yang telah diperbuat juga bukan menjadi alasan pemikir kritis untuk menghiraukan latar belakangnya dalam melakukan kejahatan. Hal ini sebagaimana Nussbaum mengutarakan argumen Marcus Aurelius sebagai Kaisar Romawi dan seorang filsuf. Marcus berargumen bahwa imajinasi simpatik berkontribusi untuk meredakan kemarahan retributif.


Maksud Marcus adalah menawarkan imajinasi simpatik yang demikian karena ketika kita membayangkan mengapa seseorang datang untuk bertindak dengan cara tertentu yang umumnya dapat memicu respons kemarahan, kita cenderung tidak melakukan hal yang sama, tetapi terlalu mudah menilai orang tersebut sebagai seorang yang murni jahat dan asing.

 

Karya sastra memainkan peran penting di sini dalam menekan emosi kemarahan yang timbul dari kejahatan yang diterima. Nussbaum juga menjelaskan bahwa pemahaman karya sastra secara kritis membantu individu dalam kehidupan sehari-harinya. Seseorang yang biasa menerapkan imajinasi naratif akan lebih mudah dalam mengambil sikap ketika menghadapi kemarahan dari keluarga. Emosi yang biasanya timbul secara spontan akan lebih mudah untuk dikendalikan karena pada saat itu kita terbiasa untuk memikirkan terlebih dahulu akar dari masalah dan tindakan yang terbaik dalam menghadapinya.

 

Sistem pendidikan menjadi media yang disebut Nussbaum cukup efektif sebagai media internalisasi imajinasi naratif pada masyarakat global. Rousseau, seorang filsuf besar menjadi salah satu tokoh yang mengilhami pemikiran yang dikonsepkan oleh Nussbaum. Rousseau berpendapat bahwa sistem pendidikan yang baik adalah sistem yang memperkenalkan seseorang dengan semua kondisi sosial termasuk keadaan orang miskin, sakit, kondisi seorang budak, dan kesulitan yang dialami masyarakat kelas bawah.


Sejauh hasil pembacaan penulis pada Cultivating Humanity karya Nussbaum, karya sastra yang menjadi rujukan Nussbaum adalah novel dan drama karena keduanya memiliki “alur” sehingga menekan adanya kemungkinan multitafsir baik dari penonton ataupun dari pembaca.

 

*****

[Pic: wikipedia.org]

Fina Yulfa Laila

Mahasiswi Sosiologi, Universitas Udayana

 

Martha Craven Nussbaum merupakan cendekiawan perempuan yang lahir pada 6 Mei 1947. Beliau adalah seorang profesor di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Nussbaum memiliki konsentrasi studi pada bidang filsafat Yunani Kuno dan Romawi Kuno, filsafat politik, eksistensialisme, feminisme, serta etika. Selain itu, Nussbaum merupakan anggota Dewan Program Hak Asasi Manusia dan anggota Komite Studi Asia Selatan.

 

Salah satu kritikan Nussbaum menyasar fenomena rasial pada masyarakat global. Salah satu pernyataan Marcus Aurelius yang dikutip Nussbaum adalah, menjadi warga dunia seharusnya tidak hanya mengharuskan diri mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk berimajinasi terhadap sesama. Hal ini perlu untuk menekan angka rasisme yang sudah dinormalisasi oleh kebanyakan masyarakat. Marcus Aurelius menjelaskan bahwa imajinasi simpatik mampu membantu seseorang dalam memahami motif dan pilihan orang-orang yang berbeda, seperti perbedaan agama, jenis kelamin, rasial, kelas, dan asal kebangsaan.

 

Nussbaum sebagai sosok yang mendalami fenomena multikultural pada masyarakat global, menilai bahwa sekian banyak perbedaan membuat tugas pemahaman simpatik menjadi semakin sulit. Kondisi ini terjadi karena perbedaan yang tidak hanya membentuk pilihan praktis kelompok, melainkan juga “bagian dalam” mereka seperti keinginan, pikiran, dan cara pandang.

 

Internalisasi stereotipe rasial dari ilmu sejarah juga memiliki pengaruh pada harga diri, prestasi, dan cinta yang memungkinkan kelompok membuat penilaian negatif pada kelompok lain, yang seolah valid karena berdasarkan internalisasi pengetahuan rasial yang diperoleh. Nussbaum juga mengutip pernyataan yang dikemukakan oleh Rousseau, orang-orang tidak sepenuhnya memahami fakta sosial yang terjadi sampai mereka mampu membayangkan kondisi sakit yang dialami orang lain.

 

Faktanya, individu akan kesulitan jika dipaksa untuk membayangkan posisi atau kondisi individu lain yang belum pernah dialaminya, misalnya seorang yang kaya berusaha menempatkan diri pada posisi sulit orang miskin. Hal ini sebagaimana perbedaan kelas sosial yang digambarkan dalam novel Charles Dickens, Hard Times dan A Christmas Carol. Kondisi tragis yang dialami masyarakat kelas menengah ke bawah dalam novel Dickens mungkin dipahami oleh pembaca dari kalangan berada, tetapi kondisi ini menjadi keprihatinan yang melintas sesaat atau bisa dikatakan tidak ditindaklanjuti karena hanya menjadi penonton dalam fakta sosial terpinggirnya suatu kelompok.

 

Berdasarkan pengamatan Nussbaum, hal ini terjadi karena telah mengakar kuatnya hak istimewa dan konvensi dari kelas, ras, etnis, jenis kelamin, dan bangsa pada suatu masyarakat, sehingga membuat mereka sulit untuk benar-benar membayangkan diri mereka sebagai pihak yang termarginalkan.

 

Karya sastra yang juga membahas kepiluan kaum miskin adalah novel Invisible Man dari Ralph Ellison. Nussbaum mengambil novel ini sebagai salah satu rujukan dalam memperlihatkan simpati yang dikesampingkan. Hal ini berdasarkan informasi yang disampaikan oleh pembaca novel yang menjadi narasumber Nussbaum. Novel ini memperlihatkan fakta rasisme menembus pikiran dan emosi.

 

Fenomena rasial dari karya sastra juga dibahas oleh Walt Whitman. Nussbaum mengutip pernyataan Whitman yang memiliki pandangan mengenai pentingnya seorang sastrawan dalam mempromosikan sikap simpati pada masyarakat umum terutama mengenai keprihatian terhadap kaum marjinal seperti perempuan dan ras minoritas, serta masyarakat miskin.

 

Karya sastra lain yang dirujuk Nussbaum adalah novel James Kelman, How Late It Was How Late, sebuah karya sastra yang mendapat penghargaan Booker Prize for Fiction di tahun 1994. Novel ini menceritakan kehidupan kelas pekerja di Glasgow, Skotlandia. Isi dari karya sastra ini begitu kental dengan dialek kelas pekerja Skotlandia baik dalam komunikasi maupun cara berpikir masing-masing tokoh. Karakter kelas pekerja yang sengaja ditonjolkan oleh Kelman memiliki tujuan dalam menghidupkan kembali tema kelas pekerja yang umumnya telah dikecualikan dari sastra-sastra Inggris.

 

Selama beberapa generasi, setidaknya sejak terkenalnya karya sastra dari Dickens, terdapat gerakan inklusi, di mana tokoh-tokoh kelas pekerja muncul dalam novel sastra, tetapi suara mereka harus diasimilasi terlebih dahulu dengan wacana sastra kelas menengah. Kondisi ini memperlihatkan adanya pihak yang memang sengaja menutup-nutupi fakta marjinal yang dialami oleh kaum pekerja.

 

Karya sastra dalam bentuk drama juga menjadi perhatian Nussbaum dalam memperlihatkan unsur-unsur karya sastra yang dapat menekan rasisme. Philoctetes karya Sophocles yang diproduksi pada tahun 409 SM menjadi salah satu karya yang dibahas Nussbaum. Drama ini sebagai salah satu bentuk reaksi Sophocles dalam menanggapi krisis demokrasi Athena. Kondisi ini berkaitan dengan keberadaan warga negara yang telah menjadi orang buangan hingga lumpuh karena penyakit yang dideritanya.

 

Philoctetes menjadi pelakon yang mewakili keadaan masyarakat yang termarjinalkan pada saat itu. Pemerintah yang menormalisisasi hal ini ditanggapi berbeda oleh sebagian masyarakat. Mereka ini mampu membayangkan kondisi Philoctetes yang belum pernah mereka saksikan; membayangkan kesepiannya, rasa sakitnya, dan perjuangannya untuk bertahan hidup. Berdasarkan analisis penulis, genre drama ini menjadi salah satu contoh karya sastra yang dianjurkan oleh Nussbaum dalam mengolah rasa simpati melalui sastra dan memupuk daya pikir kritis.

 

Karya drama lain yang dikutip Nussbaum adalah Festival Tragis tradisi Yunani Kuno. Tradisi ini menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat Barat terkenal dengan nalarnya yang kritis. Festival Tragis merupakan tempat menonton sebuah karya yang terkait erat dengan argumen dan musyawarah tentang nilai-nilai dasar kewarganegaraan. Lebih jelasnya, Festival Tragis memperkenalkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan manusia, jauh sebelum hal-hal buruk tersebut benar-benar terjadi. Penderitaan dan kerugian cukup jelas ditampilkan kepada penonton. Ini menjadi salah satu strategi dalam memainkan sumber daya puitis dan visual drama sebagai media yang menjembatani internalisasi nilai-nilai moral kepada masyarakat Yunani Kuno.

 

Nussbaum menjelaskan, salah satu bentuk strategi tersebut adalah mempertontonkan nasib tragis pahlawan, sekaligus menggambarkan pahlawan sebagai tokoh yang relatif baik dan kesusahan yang diperolehnya dari semangat perjuangan yang tidak ada habisnya. Drama ditampilkan sedemikian rupa agar penderitaan benar-benar menguasai imajinasi penonton. Strategi ini menjadi salah satu inspirasi Nussbaum dalam menawarkan konsep imajinasi naratif pada sistem pendidikan masyarakat global.

 

Pentingnya seni sebagai perangsang daya kritis seseorang dalam memahami kondisi sosial telah diterapkan oleh rakyat Amerika Serikat. Mereka mengakui alasan yang signifikan bahwa seni memupuk kapasitas penilaian dan kepekaan masyarakat terutama saat mereka memilih wakil negara. Nussbaum menuliskan bahwa seni yang dimaksud warga Amerika Serikat dalam batas waktu tertentu mencangkup semua seni.

 

Di sisi lain, Nussbaum juga menerangkan bahwa dalam kurikulum dunia, seni sastra menjadi media yang paling efektif dalam menggambarkan keadaan khusus dan masalah individu atau kelompok yang berbeda. Berdasarkan karya-karya yang dibahas Nussbaum, novel dan drama menjadi karya sastra utama yang mampu menjembatani penekanan fenomena rasial pada masyarakat dunia. Dikutip dari Aristoteles Bab 9 The Poetics, sastra menunjukkan kepada kita bukan terkait kondisi yang telah terjadi, tetapi lebih kepada hal yang mungkin terjadi.

 

Hal ini yang menjadi salah satu dasar Nussbaum dalam menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang kemungkinan adalah sumber daya yang sangat berharga dalam kehidupan politik yang di dalamnya mengandung unsur-unsur normalisasi rasisme. Metode pemahaman kondisi sosial melalui karya sastra juga dibahas oleh Lionel Trilling yang menyebut imajinasi pembaca sastra dalam bentuk novel menyadarkan akan pentingnya kebahagiaan sambil menghormati manusia.

 

 

*****

 


Tomy Priatna Wiria

Mahasiswa Sosiologi Universitas Udayana

 

Johan Norberg adalah seorang penulis dan analis politik yang dikenal karena dukungannya terhadap kapitalisme global. Norberg percaya bahwa pasar bebas dan globalisasi ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan manusia di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang kurang berkembang.

 

Norberg berpendapat bahwa kapitalisme global memberikan kesempatan bagi individu dan perusahaan untuk bersaing secara adil di pasar global, yang dapat meningkatkan inovasi dan efisiensi produksi. Dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi, Norberg berpendapat bahwa kapitalisme global dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat dan memperkuat hak asasi manusia.

 

Ia juga menyadari bahwa kapitalisme global tidak sempurna dan masih memiliki masalah dalam implementasinya. Ia mengakui bahwa beberapa negara masih mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan global dan memerlukan bantuan internasional. Norberg juga mengritik praktik bisnis yang tidak etis dan memperjuangkan perlindungan hak-hak pekerja dalam kontrak bisnis global.

 

Secara keseluruhan, Norberg meyakini bahwa kapitalisme global dapat menjadi kekuatan yang positif dalam meningkatkan kesejahteraan manusia di seluruh dunia, tetapi juga memerlukan pengawasan dan regulasi yang tepat untuk memastikan bahwa praktik bisnisnya adil dan etis.

 

Kapitalisme Global dan Pasar Bebas

Dalam praktiknya, kapitalisme global sering dikombinasikan dengan pasar bebas, di mana pemerintah memiliki peran yang terbatas dalam mengatur kegiatan ekonomi. Sistem ini dikenal sebagai "kapitalisme pasar bebas". Namun, dalam beberapa kasus, negara dapat memiliki peran yang lebih aktif dalam mengatur kegiatan ekonomi, meskipun masih di bawah sistem kapitalisme, seperti dalam sistem kapitalisme negara kesejahteraan.

 

Kritik terhadap kapitalisme dan pasar bebas seringkali berkisar pada ketidakseimbangan kekuasaan dan kekayaan antara individu dengan perusahaan besar dan miskin, serta dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, beberapa negara telah mengadopsi campuran sistem ekonomi, yang menggabungkan elemen-elemen kapitalisme dengan sosialisme, untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi yang lebih seimbang.

 

Membela kapitalisme global berarti mendukung sistem ekonomi yang berbasis pada pasar bebas dan globalisasi ekonomi di seluruh dunia. Ada beberapa argumen yang digunakan untuk membela kapitalisme global, di antaranya:

 

(I)

Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan: Kapitalisme global memungkinkan pasar untuk beroperasi tanpa hambatan dan memperkuat perdagangan internasional. Ini memungkinkan perusahaan untuk mencapai skala ekonomi yang lebih besar dan lebih efisien, sehingga mampu menawarkan barang dan jasa dengan harga yang lebih murah. Hal ini dapat meningkatkan daya beli konsumen dan memperkuat pertumbuhan ekonomi, sehingga meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

 

(II)

Memperkuat inovasi dan efisiensi produksi: Kapitalisme global memotivasi perusahaan mencari cara-cara baru untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi dalam produksi. Hal ini menghasilkan teknologi yang lebih maju, proses produksi yang lebih efisien, dan produk yang lebih inovatif dan berkualitas. Hal ini dapat meningkatkan daya saing suatu negara dalam pasar global dan memperkuat ekonomi nasional.

 

(III)

Meningkatkan pertukaran ide dan budaya: Kapitalisme global juga dapat meningkatkan pertukaran ide dan budaya antara negara-negara. Hal ini dapat memperkuat pemahaman antara masyarakat dari budaya yang berbeda dan memperkuat toleransi terhadap perbedaan.

 

Demokratisasi Kapitalisme

Demokratisasi kapitalisme adalah konsep yang mengacu pada upaya untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip demokrasi ke dalam sistem ekonomi kapitalisme. Konsep ini didasarkan pada pandangan bahwa kapitalisme yang tidak diatur dapat menghasilkan ketidakadilan sosial dan ekonomi, sehingga perlu adanya perlindungan konsumen, kebijakan antimonopoli, dan pengaturan pasar yang ketat.

 

Pengintegrasian prinsip-prinsip demokrasi ke dalam kapitalisme dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, misalnya melalui pengaturan pasar yang ketat untuk memastikan adanya persaingan sehat dan mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin, serta meningkatkan akses masyarakat ke kekayaan dan sumber daya.

 

Demokratisasi kapitalisme juga dapat dicapai melalui partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ekonomi, seperti melalui pemilihan wakil rakyat yang mengusulkan dan menyetujui undang-undang yang mengatur ekonomi.

 

Dalam praktiknya, beberapa negara telah mencoba untuk menerapkan konsep demokratisasi kapitalisme melalui campuran sistem ekonomi yang menggabungkan elemen-elemen kapitalisme dan sosialisme, seperti dalam sistem kapitalisme negara kesejahteraan.

 

Ada pula kritik terhadap kapitalisme global yang berdemokrasi adiluhung, yang menyatakan bahwa sistem ini mengakibatkan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi di seluruh dunia. Beberapa orang berpendapat bahwa kapitalisme hanya menguntungkan para kapitalis dan perusahaan multinasional, sementara masyarakat dan lingkungan menjadi korban dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

 

Untuk mengatasi kritik-kritik tersebut, beberapa solusi dapat dilakukan. Pertama, pemerintah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam pengaturan ekonomi. Ini dapat membantu mengurangi ketidakadilan dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kapitalisme global. Kedua, perusahaan dapat diwajibkan untuk bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Hal ini dapat membantu mengurangi dampak negatif kapitalisme global pada masyarakat dan lingkungan. Ketiga, perdagangan internasional dapat diatur dengan cara yang lebih adil dan setara, sehingga dapat membantu mengurangi ketidakadilan ekonomi dan sosial.

 

Kesimpulannya, kapitalisme global adalah sistem ekonomi yang kompleks dengan banyak pro dan kontra. Meskipun ada beberapa kritik terhadapnya, kapitalisme global perlu dipertahankan karena dapat memungkinkan inovasi, persaingan, pengalokasian sumber daya yang lebih efisien, dan perdagangan internasional yang menguntungkan. Namun, kritik-kritik tersebut tidak boleh diabaikan. Solusi seperti pengaturan pemerintah yang lebih aktif, tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta perdagangan internasional yang lebih adil dapat membantu mengurangi dampak negatif kapitalisme global pada masyarakat dan lingkungan.

 

*****